Empat Ratus Tiga Puluh Empat


Sahabat itu seperti mentari, meskipun malam, sinarnya terlihat jelas.

Sahabat itu seperti mentari, meskipun malam, sinarnya terlihat jelas.

Hello, teman… engkau tahu engga? Hari ini, kita sedang menginjakkan kaki jemari-jemari ini pada catatan kita yang ke empat ratus tiga puluh empat, dari total empat ratus empat puluh catatan yang sedang kita upayakan tercipta. Wah! Ternyata kita telah menyelesaikan sebanyak enam buah catatan terpanjang seumur hidup, yaa. Ehee..! Catatan yang terangkai untuk kita. Hohoo… Begitulah, karena kita berlatih untuk merangkai hari dengan menciptakan note-note yang sepertinya tidak begitu penting. But, setidak penting apapun kata-kata ini terangkai, namun ia perlu ada. Titik. Karena, catatan-catatan tersebut kuddu berjumlah empat ratus empat puluh buah sampai nanti pada waktunya KatePe kita berganti. 😀 Target yang pencapaiannya perlu kita realisasikan. Ya, lebih cepat tentu lebih baik. Agar kita dapat mengerjakan yang lainnya, setelah semuanya muncul dengan warna-warni yang tercipta.

Belum pernah selama ini, saya merencanakan untuk merangkai catatan harian yang angkanya sebanyak ini. Namun, dengan tekad yang membaja ditambah motivasi untuk diri sendiri, maka saya beranikan jemari menitipkan suara hati. Ai! Sungguh, ini berarti bahwa kita membutuhkan waktu lebih dari setahun, apabila kita mencipta hanya satu catatan saja dalam satu hari. Dan yang tidak boleh ketinggalan, bahwa setiap catatan tidak boleh kurang dari dua ribu dua belas karakter. Ahahaha! Biar saya makin rajiiiiin, itu saja sih alasannya. Mengapa saya melakukan semua ini. Oia? Memangnya saya engga punya aktivitas lainnya, selain menulis diari?? Tentu saja, punya, teman. Tapi, saya ingin ada prasasti tentang perkembangan diri ini. Agar nanti saya pun tahu, bahwa saya pernah menjalani, mengalami, dan menemui hal-hal yang pernah saya catat di sini. Semudah itu cara yang saya hadirkan dari dalam diri ini, agar setiap hari ada aspirasi yang mengingatkan.

Nah! Hari ini, kita baru sampai pada catatan yang ke empat ratus tiga puluh empat. Sengaja kita menghitung mundur dari angka yang terbesar terlebih dahulu. Supaya, angkanya makin kecil. Jadi, perasaan menjadi lebih ringan saat menjalaninya. Kapan ya, tepatnya catatan dengan angka satu tercipta? Insya Allah, sebelum saya berganti KatePe tahun depan. WaH! Lama yaa. Yes! Kedengarannya memang begitu, namun, kalau sekiranya engkau mau membantuku teman, ciptakanlah sebait catatanmu dengan karakter yang tidak kurang dari dua ribu dua belas. Kemudian send it to me. Kemudian, saya pajang ia di sini untuk melengkapi susunan angka-angka yang telah saya rancang. How is?

“Maunya kita dibantuuuuuu, aja ya”, teriak jiwa. 😀 Eh, saya aja ding!. Oia, ding ini maknanya apa ya. Kok tiba-tiba muncul di belakang kalimat. Lha, fikiran saya jadi kemana-mana, dech. Wah! Ada dech di belakang kalimat yang sebelum ini, maknanya apa ya? Waaaaa…. semua ini membuatku berfikir aneh-aneh. Hehee, catatan yang engga penting, memang. Tapi, ada satu aktivitas yang hadir saat ini, selama saya bersamanya. ‘Senyuman’. Ya, senyuman yang segera menebari wajahku pada pagi nan kelam ini. Sekelam malam tanpa rembulan. Maklum, memang belum ada sinar mentari, teman… ketika saya memulai semua ini.

Setelah Subuh menitipkan pesan pada kehidupan untuk terus melanjutkan perjuangan. Lalu saya ikut dengan kehidupan yang tadi tertitipi pesan. Untuk membersamainya. Ya, karena hari ini adalah kehidupan saya. Hari ini adalah milik kita. Kita yang masih ada di dunia. Untuk apa?

—-<1.&.1>—-

….. Yuuks mari bergiat merangkai cinta …..

—-<1.&.1>—-

Tidak ada tema tertentu yang mengikat, saat sebuah catatan menjelma. Apakah ia bertema kebahagiaan atau sebaliknya, apakah ia bertema keteduhan atau tentang teriknya mentari, dan lain sebagainya. Tidak ada. Karena semua catatan adalah bertemakan diari saja. Diari yang merupakan tempat untuk menumpahkan segalanya. Termasuk menumpahkan isi gelas di pagi yang cerah, saat sarapan sedang berlangsung. Ya, tumpahkan saja, agar ia segera mengering. Lalu, bersihkan lagi dengan senyuman. Agar siang yang akan kita temui juga menyambut kita dengan senyuman yang ia tebarkan.

Sempurnakan rasa dengan membagikannya, tunjukkan hasil fikir dengan mengalirkannya, lalu sampaikan ia via jemari yang sedang menari. Maka kita dapat menyaksikan apa yang telah kita rasakan sebelumnya. Selain itu, kita juga mengetahui tentang fikir yang pernah mampir meski hadirnya tidak diundang. Hingga akhirnya, ia menjadi bukti bahwa kita pernah ada di dunia ini. Bukan untuk tidak berarti, apalagi untuk menghabiskan sisa-sisa usia tanpa makna. Bukan, bukan untuk tujuan yang demikian kita ada di sini.

Pada catatan yang ke empat ratus tiga puluh empat ini, saya hanya ingin menyatakan bahwa mulai hari ini, akan ada wajah-wajah para sahabat yang mejeng di sini. Insya Allah… Karena engkau begitu berarti. Untuk itulah, saya beraikan apa yang jiwa alami di sini. Sebagai ungkapan terima kasih yang terungkap dari hati. Semoga, kita dapat berjumpa lagi setelah saat ini, dengan izin Ilahi Rabbi. Aamin ya Rabbal’alamiin. Meskipun wajah-wajah tersebut sudah sering engkau pandangi atau memang baru kali ini engkau ketahui, tidaklah mengapa. Meskipun wajah-wajah tersebut baru ada di dalam fikir ini dalam artian saya belum menjumpai, tapi ia ada. Sekalipun ia sudah tidak ada sama sekali di dunia ini, padahal pribadi yang demikian pernah ada. Atau memang, inikah dunia? Tempat berkumpulnya kerinduan… Kerinduan yang timbul setelah kita berjarak dalam raga. Kerinduan yang hadir tiba-tiba saat kita belum berjumpa lagi. Kerinduan yang menghiasi relung jiwa dengan semaunya. Ai! Ia sungguh-sungguh menyiksa! Sehingga, saya menitipkan barisan kata sebagai gambaran wajah-wajah para sahabat, karena beliau berharga. Saya menghargai ingatan yang menyelingi dan saya peduli. Beliau adalah jalan yang berperan untuk sampaikan saya di sini. Beliau adalah jalan sampaikan kebaikan-Nya pada diri ini. Sungguh! Saya perlu mengabadikannya hingga nanti memprasasti. Semoga engkau mengerti dan memahami mengapa semua ini terjadi.

***

“Assalamu’alaikum, Teh Yan… Hayu-lah kita ke kampus sekarang,” ajak Teh Mey padaku via telepon seluler. “Teh Meeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeey,” hening pun buyar seketika. Tiada banyak kata yang mampu saya sampaikan. Bahkan, untuk menjawab salam yang beliau ucapkan, terabaikan. Bukankah menjawab salam adalah wajib. Karena salam adalah doa yang sampai kepada kita. Namun, ketika itu saya benar-benar shok! Hohohooo… namun hati ini menjawab bersama senyumannya yang terindah. Walaupun bibir ini terdiam. Satu perpaduan yang menyisakan ingatan padaku hingga sepagi ini. Padahal, kejadian tersebut telah berlangsung semenjak kemarin, senja. Ya, sesaat sebelum azan Magrib menyapa, Teh Mey meneleponku untuk mengajak ke kampus bareng-bareng.

Sudah lammmmmmmaaa banget kita belum berjumpa lagi, semenjak siang hari yang mengesankan itu. Ya, ketika kita bertiga; Teh Mey dan Timoet kena vonis belum dapat melanjutkan perkuliahan lagi dalam semester yang sedang berjalan. Padahal, kami bertiga sedang asyik-asyiknya menikmati masa pendidikan di sebuah lembaga pendidikan tinggi, tempat kami melanjutkan cita-cita. Ai! Semua ini bukanlah kesengajaan yang kami rencanakan. Akan tetapi, kami menjadikannya sebagai bahan pelajaran sekaligus tambahan pengalaman. Agar kami mau untuk meneruskan perjuangan yang sudah lebih dari setengah jalan. Perjuangan yang perlu untuk kami perjuangkan. Karena kami yakin, pasti ada jalan selama kita percaya pada sumber Kebaikan. Ya, begini kami menenangkan fikiran dan meneduhkan qalbu yang segera tertundukkan. Yes! Karena hidup memang untuk hal yang demikian, kan?? Insya Allah, kemudahan akan hadir seiring dengan kesulitan. Bukankah telah tercantum jelas di dalam Al-Quran: “…Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai dari (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (Q.S Alam Nasyrah : 5-8). Al Quran adalah pedoman dan penunjuk jalan kehidupan, ketika kita belum lagi menemukan arah dan akhirnya kebingungan di tengah jalan. Mau kembali saja? Jejak-jejak telah terukir sebagian. Mau melanjutkan ke hadapan? Di depan ada rintangan, ada halangan, ada macaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan. Lalu, terdiam diri dalam kesendirian. Ia tidak tahu mau ngapain lagi, ia tertakuti oleh ketakutan yang ia munculkan sendiri. Ia kehilangan arah. Namun, ia masih penasaran tentang apa yang ada di hadapan.

Mau melompat, gerakannya begitu penuh kelembutan. Mau terbang, melayang tinggi lalu mendarat di tempat tujuan dengan penuh keselamatan, namun ia tidak mempunyai sayap-sayap yang dapat ia manfaatkan. Mau menelepon dan menghubungi sesiapapun yang mau mengulurkan bantuan untuk mengirimkan jemputan, namun tidak ada jaringan. Ya, signal belum lagi ditemukan, karena masih dalam gangguan. “Ooooooaaaaaammmmmmmm…..”, akhirnya ia mengantuk saat berjalan. Lalu, terlelap, tertidur, seraya meneruskan langkah-langkah kaki. Dengan kedua mata yang tertutup, dengan pikiran yang terus berjalan, ia segera membuka mata hati. Kemudian dalam tidurnya itu, ia bermimpi bertemu dengan banyak orang yang menempuhi jalan yang sama. Hal yang demikian juga dialami oleh beliau-beliau yang juga pernah berjalan. Beliau yang saat ini sedang duduk dengan tenang seraya menikmati hasil perjuangan. Beliau yang saat ini ternyata masih melanjutkan perjuangan dengan senantiasa rela berkorban. Ya, beliau terus melangkah. Meskipun kaki-kaki raga tidak mampu bergerak lagi. Namun, kaki-kaki jiwa yang melangkah sedang bersenyuman dalam meniti jalan kehidupan.

Teman…. Memang belum sampai sebulan lamanya kami belum bertatap lagi. Namun, tahun sudah berganti. Memang, tahun ini baru berlangsung beberapa hari, akan tetapi tidak perlu menunggu kan, hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih ini. “Teh Mey, terima kasih yaa atas kebaikan budi, atas semangat dan kepedulian dalam persahabatan. Mari kita melanjutkan perjuangan ini. Jalan masih terbentang indah untuk kita lalui, selama kita masih ada di dunia ini. Kecuali kalau nanti salah satu dari kita sudah kembali pulang ke kampung halaman yang abadi. Tentu jejak-jejak ini yang akan menjadi saksi atas segala upaya yang kita dayakan. Agar kita dapat menjadi lebih baik lagi dari hari ini. Saya pandangi wajah beliau dengan senyuman yang mengembang dari wajah ini. Kemudian saya terpikir sesuatu. “Teh Meeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeey,” satu jepretan, sukses!

Wah! Dari hasil jepretan, saya menafsirkan begini, “Teh Mey adalah pribadi yang sibuk. Lihatlah… sejenak setelah salat Magrib, dengan perlengkapan salat yang masih ada di sekitaran, terlihat beliau sedang berkomunikasi dengan entah siapa di sana. Baiklah, Teh Mey, semoga menjadi seorang businesswoman yang sukses di kemudian hari yaa, seperti cita-citamu, teman. Engkau sahabatku.” Meskipun dengan mata tertutup, walaupun kita telah menutup mata, semoga cita yang pernah kita cipta dapat menjadi jalan tersenyumnya kita lebih indah lagi. Karena kita tidak pernah tahu tentang kapankah akhir usia akan menyapa. Terus bersiap siaga bersama sisa umur yang kita punya semoga menjadikan kita selalu terjaga. Terjaga dari hal-hal yang tidak kita inginkan, terjaga dalam melanjutkan langkah, terjaga dan menjaga untuk selama-lamanya.

Untuk suara isi hati yang belum tersampaikan namun ia ada, maka merangkainya dalam bentuk kata demi kata adalah jalan yang dapat menghadirkan senyuman. Buat ucapan terima kasih yang ingin kita sampaikan pada beliau yang jauh di sana, namun kita belum tahu bagaimana cara untuk mengirimkannya, maka segera laksanakan! Berterima kasihlah pada siapa pun yang telah berpartisipasi dalam menunjukkan bukti bakti diri pada kita. Siapapun beliau sebenarnya, kita tidak pernah tahu akan jalan takdir, kan? Walau sejauh apapun jarak yang membentang indah di antara kita, namun ketika “Terima kasih” itu ada, maka ia akan menyapa lewat senandung angin yang bersemilir. So, jangan ragu lagi akan kekuatan peran semesta demi menguatkan kita. Karena semesta ini adalah ciptaan-Nya. Sedangkan kita juga sama. So, apapun yang kita pinta, semesta juga meminta. Apapun yang kita rasa, ia juga mengalami. Yakinlah, kita tidak pernah sendiri dalam perjalanan ini. Ada sahabat yang senantiasa menemani. Ada beliau yang terus mengingati. Ada beliau yang kembali datang setelah pergi dalam waktu yang lama. Untuk mengajak kita melangkahkan kaki bersama-sama.

Kita boleh saja menangis ketika kerinduan menyesaki dada. Kita juga dapat tersenyum ceria ketika rasa bahagia hadir menyapa jiwa. Akan tetapi, kita perlu menyadari bahwa semua itu tidak abadi. Ada masa yang senantiasa berganti. Ada waktu yang terus menjadi pengingat diri. Bahwa ia tidak boleh terlena. Ia perlu mawas diri. Hidup hanya sekali. Untuk apa kita ada di sini? Lagi-lagi saya menanyai diri sendiri. Diri yang seringkali perlu ditanyai oleh saya sendiri. Hihihii… 😀 Tuh kan ya, meskipun masih pagi, saya sudah tersenyum-senyum sendiri. Wha! Ada apa dengan diri ini? Apa yang ia alami? Saya mencoba melangkahkan kaki ke arah pintu, lalu saya membukanya.

Beberapa saat kemudian….

Saya kembali lagi ke sini, untuk menitipkan pesan pada mentari, “Wahai mentari…. Engkau belum juga menunjukkan diri, padahal kan sudah pagi? Adakah engkau tertidur lagi? Hohooo… Kalau tidurnya mentari kelamaan, bisa jadi semua makhluk bumi kedinginan. Kalau kedinginan, kaku, lalu kelu. Wah! Saya mikirin apa yaaa…? Ai! Saya benar-benar tidak pernah akan menyelesaikan rangkaian catatan ini kalau saya tidak segera berhenti. Namun, setelah saya melihat jumlah karakter yang tercipta, baru ada sebanyak seribu sembilan ratus lima puluh buah sampai saat ini. Itu berarti, saya perlu menambahkan tidak sampai seratusan karakter lagi, agar mencapai lebih dari dua ribu dua belas. 😀 Untuk itulah, teman. Saat ini saya masih ada di sini. Agar saya dapat melengkapinya. Karena kalau saya tidak melengkapi, berarti catatan yang saya buat belum lengkap. Yes! Sekarang jumlah nya sudah mendekati dua ribu. Hahahahahaaaa….. akhirnya sampai juga. Bahkan sekarang sudah lebih dari dua ribu dua belas. Apakah saya akan menghentikan sampai di sini? Wait. Saya ingin melangkah ke depan lagi. Saya ingin menyaksikan langit untuk sebentaaar saja.

Beberapa saat kemudian…

Hello… teman, saya kembali. Setelah memperhatikan langit di luar, tadi. Mentari sudah menampakkan pesonanya yang Subhanallah…. I love it. Memandang-mandangnya lebih lama, tentu menyenangkan. Namun, saya perlu beraktivitas yang lainnya. Ok. See you sahabatku, engkau mentari di hatiku.

🙂 🙂 🙂

 


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”