Pagi yang Sejuk
Pagi yang Sejuk

“Tidak ada macan yang mau menerkam anaknya sendiri.”

Segalak-galaknya macan, segeram apapun ia berekspresi, sekeras apapun suara yang mampu ia perdengarkan ketika bertemu dengan musuhnya, namun ia masih mempunyai sisi baik. Ya, perhatikanlah bagaimana ia bergaul dengan anaknya, mengayomi, mensenyumi, mengajak bermain, dan tidak mampu lagi saya mengimajinasikan bagaimana aktivitas sang macan dan keluarganya. Karena saya belum pernah menanyakan pada makhluk yang paling menakutkan ini. Tentang bagaimana kok ia bisa membimbing anak-anaknya menjadi seekor macan yang semirip dengan karakternya. Pun, bagaimana proses yang ia tempuh, sampai akhirnya anaknya menjadi lebih berani untuk melangkah, ketika ia telah benar-benar dewasa. Termasuk juga bagaimana caranya agar anak-anak macan juga dapat mengamuk kalau ada yang mengusik ketenangannya. Yach. Begini perumpamaan yang dapat mengawali catatan terindah hari ini. Yes. Hari ini, kita jumpa lagiii.. hehee 😀

Ada banyak ketakutan yang menghinggapi kita, kalau kita mau memunculkannya dari dalam diri sendiri. Ada ketakutan karena tidak mau melakukan kesalahan. Sehingga akhirnya kita tidak jadi berbuat dan tahu apa risikonya? Kita engga akan pernah punya pengalaman. Lalu, ngapain aja kita ada hari ini, kalau untuk berbuat hal-hal yang baru saja kita engga berani? Bagaimana kita akan punya catatan penting tentang perjalanan diri? Hay! Bangunlah, sayang… pagi belum lagi hadir. Begitu pula dengan mentari, ia sedang jauh di sana, entah di mana. Namun yakinlah, ia masih bersinar cemerlang saat ini. Bukankah engkau tidak mau kalah dengannya? Bukankah engkaupun ingin berbakti dan berbuat yang terbaik saat ini? Bukankah kita ada untuk mengembalikan dan merenovasi kebaikan agar ia terlihat karena ada? Bukankah kita ingin membuktikan bahwa ternyata, kelembutan itu jelas-jelas ada. Bukankah kita pernah menginginkan untuk berkumpul dengan para hamba-hamba-Nya yang dapat menjadi jalan bagi kita untuk menjadi lebih dekat dengan-Nya. Bukankah kita ada saat ini, untuk menempuh proses menuju ke sana. Ai! Lalu, apa lagi yang perlu kita pertanyakan? Kalau  memang tidak ada jawaban, maka izinkanlah hati menemui Rabb-Nya. Semudah ini cara yang dapat kita lakukan untuk kembali mau menjejakkan kaki semenjak awal hari ini. Agar, kita pun tersenyum pada akhirnya.

Satu kalimat singkat yang kembali saya ingat setiapkali akan menemui para hamba-hamba-Nya adalah…, sekiler dan segalak apapun karakter dari beliau semua, yakinlah bahwa beliau adalah manusia. Manusia bukan macan. Manusia adalah insan yang mempunyai hati dan perasaan. Manusia berpikir dan merenungkan kembali akan segala sikap dan perilaku diri, sesaat setelah ia berbuat. Manusia itu penuh dengan kelembutan hati. Ya, karena manusia adalah makhluk yang senantiasa mempunyai kepedulian kepada siapapun yang menyapanya. Manusia adalah salah satu dari sekian banyak ciptaan Allah. Ia adalah makhluk yang mulia. Dengan kemuliaan itulah ia memaafkan, dengan keelokan budinya ia mau untuk mensenyumi sesamanya, dengan kemuliaan yang menjadi karakternya. Manusia itu sangat baik, yaa.

Pernahkah sahabat? Tiba-tiba engkau merasakan ada dorongan yang mengajakmu untuk tetap menyapa, tersenyum lagi, dan akhirnya muncullah tekad itu. Tekad untuk berbuat. Tekad untuk berkata, “Aku bisa!.” Lalu, engkaupun tersenyum seketika itu juga. Dan lebih banyak lagi tekad yang dapat kita hadirkan, kalau kita mau bersama-sama dengannya. Ai! Dengan tekad yang berhasil kita tumbuhkan, kita dapat mengembalikan posisi pikiran yang sebelumnya sangat-sangat tidak seharusnya ada. Ya, pikiran positif adalah jalan agar kita dapat menemukan sebuah kekuatan. Kekuatan dan keberanian untuk mengambil hikmah dari berbagai hal. Termasuk kekuatan untuk menggerakkan lagi kaki-kaki jiwa ini, ketika ia tiba-tiba merasa tidak berdaya. Ia lemah. Wah! Yang lemah jiwanya, yang gentar hatinya, yang mengalami keterpurukan mental karena tidak mau salah? Lalu, kapan lagi engkau akan berkembang? Hahahaa… “Manusia bukan macan,” yakin dech ah.

Setakut apapun kita pada manusia, kita perlu  menyadari bahwa masih ada sisi baik dari beliau. Sebuah kalimat singkat yang saat ini saya ingat. Oia? 😀 Memangnya tadi saya belum jadi menuliskannya yaa… ? Mari kita baca lagi … Ternyata iya, pada paragraf sebelum ini, saya belum jadi merangkai kembali kalimat yang seringkali saya ingat.  Makanya, saat ini saya kembali merangkai kalimat yang senada. Begini bunyi kalimat tersebut, teman:

“Pandanglah seseorang dari kebaikannya, agar kita bisa menghargainya dan menjadikan kita husnuzan kepadanya”.

Sebuah kalimat yang pernah saya semaikan di sebuah kebun, dan kebun tersebut saya pandangi lagi saat ini. Kebun yang menjadi jalan tumbuhnya sang bibit kalimat. Kini, ia telah mengakar dan mempohon. Lihatlah, rindang pohonnya meneduhkan, mendamaikan dan menjadi sarana bagi kita untuk berteduh sejenak, setelah lama melangkah. Duduklah di bawahnya, dengan rileks. Tempatkan dirimu di sekitar pohon tersebut, dengan baik.  Ya, anggap saja seperti di rumah sendiri. Mau tidur-tiduran, mau selonjoran, mau senyum-senyum sendiri, mau ngapain aja. Pokoknya bebas, dan engkau enjoy selama berada di sana. Lalu, pejamkan matamu sejenak. Bayangkan bahwa engkau sedang menjelajahi seluruh alam, hingga ke luar angkasa sana. Saksikanlah jagad raya yang luas membentang. Perhatikanlah dengan teliti, setiap titik-titik kecil yang sedang bertebaran itu. Gerakannya yang tidak lagi terlihat karena cepatnya, menjadi sebuah pemandangan yang menakjubkan. Ya, ketika engkau mau menghabiskan sedikit saja dari waktumu yang sangat berharga itu, setiap waktu engkau menginginkannya, maka lakukanlah. Perhatikan dengan saksama. Lalu, hitunglah seberapa banyak titik-titik kecil yang mampu engkau lihat. Dapatkah engkau menghitungnya? Waaaaaa…. saat ini, saya lagi membayangkan putarannya semakin cepat. Pusssink. Baiklah, maaaari kita kembali ke bumi. Saatnya membuka mata.

Mata kita ada dua. Mata jiwa dan mata nyata. Ya, mata itulah yang sedang menemani kita hingga saat ini. Ada mata jiwa yang mampu menatap di tengah gelapnya malam. Ada mata nyata yang hanya mampu berfungsi optimal kalau ada cahaya bersamanya. Mata? Betapa pentingnya mata buat kita. Dengan mata jiwa, kita dapat melihat semesta yang sebelum ini telah kita saksikan dengan penuh keseriusan. Dengan mata nyata, kita dapat menatap sesama insan yang banyaaaak banget. Nah! Seperti halnya titik-titik kecil di angkasa sana, para insan di dunia adalah bagian dari titik-titik kecil tersebut. Ya, dapatkah kita melihat, di mana posisi bumi ketika kita berada di angkasa? Dapatkah kita membayangkan sekecil apa kita saat kita melihat dari perbandingan dengan jagad raya? Wah! Saya pusssink lagi. Karena tadi itu, ada yang berputar-putar di pikiran ini. Hahaa, bagaimana ini? Padahal, saya mau mengingat-ingat keberadaan saya saat ini apabila dibandingkan dengan semua ciptaan-Nya. Saya, siapa saya?  Anda kuat? Ada kekuatan yang lebih kuat dari Anda. Anda merasa jago? Ai! Memangnya engga ada yang lebih lagi? Anda itu adalah saya. Karena saat ini, saya sedang berbicara dengan diri saya sendiri.

Allahu Akbar …

Allah, sangat besar perhatian-Nya kepada kita, melebihi apapun juga. Ketika kita melakukan kesalahan, maka Allah menegur kita melalui hamba-hamba-Nya yang Allah izinkan untuk menjadi jalan sampaikan teguran dari-Nya kepada kita. Karena begitu besar perhatian-Nya, maka seringkali kita lupa dan tidak mau peduli. Lalu, segera saja kita marah-marah kalau ada yang berbuat salah. Memang, tidak ada yang suka dengan kesalahan. Apalagi Allah, sangat tidak suka kalau kita melakukan kesalahan. Apalagi kalau kita melanggar perintah-Nya. Akan tetapi, Allah Maha Pengampun. Lalu, kitaaaaaaaaaaa maukah kita menjadi hamba yang pemaaf?

Memang kita tidak akan mudah mengerti, kalau kita tidak mau mengerti. Memang, kita tidak akan memahami, kalau kita tidak mau memahami. Ya, semudah ini cara yang dapat kita hadirkan ke dalam diri sendiri, sebelum kita menyampaikannya kepada orang lain. Karena untuk mengerti, kita  perlu belajar. Agar dapat memahami, kita perlu mempelajari lagi. Apa yang salah dengan diri ini? Mengapa ia begitu mudahnya untuk tidak mengerti? Mengapa ia belum lagi mau memahami? Ai! Lebih baik kita menanya diri lebih sering, seperti ini. Daripada kita menyampaikannya kepada orang lain. Karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah, tidak ditentukan oleh sepintar apapun ia, tidak juga dapat diukur dari semenarik apapun tampilannya. Namun, seorang yang mulia adalah yang hatinya menarik. Ya, seorang yang hatinya cerdas.

Seorang yang cerdas hatinya, akan kembali menyadari di mana posisinya dalam pandangan Allah. Setiap kali ia akan menyampaikan sesingkat apapun kalimat kepada oranglain, terlebih dahulu ia menyampaikan kepada dirinya sendiri. Bagaimana tanggapannya atas kalimat yang telah ia sampaikan pada dirinya, seperti itu pula jawaban yang akan dihadirkan oleh oranglain. Mengembalikan kata yang pernah kita ucapkan, tidak akan pernah. Menghapusnya lagi, lalu  mengganti dengan yang baru, akankah? Ia terukir jelas di relung hati. Kecuali bagi yang mau peduli, maka ia membersihkannya dengan satu kata, “Aku memaafkanmu.” Meskipun satu kata tersebut tidak dapat kita lihat saat ia terucap, namun kita dapat memandang ada sebaris kalimat yang meluncur dari dalam jiwa orang-orang yang pemaaf. Ya, dengan mata jiwa pula kita dapat menatap aliran kalimat yang sedang beliau sampaikan melalui sikap, gerakan dan tatapan mata. Wah! Mata bertemu mata, akhirnya jatuh cinta. Hahaa.. 😀

“Boleh… kita boleh mencintai sesama. Cinta yang hadir karena kita pernah bertemu pandang di dalam jiwa.”

Dengan cinta dan kasih sayang yang dimilikinya, maka manusia menjadi sangat mulia. Baik dalam pandangan manusia apalagi di hadapan Allah.  Siapa yang tidak suka dengan seorang yang penyayang? Siapa pula yang tidak akan mau bertemu lagi dengan seorang yang dapat menjadi jalan sampaikan kebaikan dari-Nya buat kita? Termasuk seorang  yang menjadi jalan sampaikan teguran dari-Nya atas kesalahan yang kita perbuat. Ai! Saya sangat menghargai beliau-beliau yang pernah menjadi jalan tersebut. Terima kasih ini, tidak untuk dirangkai dalam kalimat. Terima kasih ini untuk jiwa-jiwa yang mau membaca dengan mata jiwanya yang menatap. Terima kasih dalam catatan yang ke empat ratus dua puluh tujuh ini, tidak untuk sebuah nama saja. Namun, ia ada untuk saya juga.

Mengingat tentang makna terima kasih, kemarin tepatnya pukul 11.09 AM, saya menerima sebuah pesan. Dan pesan tersebut baru saya baca setelah lebih dari pukul lima sore. Ya, karena … (tidak perlu mencari alasan mengapa baru baca. Titik…!!!.) Tiga buah tanda pentung di ujung kalimat sebelum ini, baru saja memukul saya. Awwwww… sakit rasanya. Ya, seringkali saya kejam pada diri sendiri. Saya memukulnya semau saya. But, memang salahmu, nafa baru baca? Padahal, membaca itu kan penting. So, kalau ada bacaan yang terlewatkan padahal engkau sangat perlu membacanya, maka itulah kesalahanmu. Yaa akui saja. Dengan demikian engkau menjadi lebih mudah untuk memaafkan sang pementung. Yes, memaafkan diri sendiri, saya suka. Karena bersamanya, kita bisa memaafkan oranglain. Wahai, indahnya jalan yang dapat kita tempuh untuk sampai pada satu kata “Aku memaafkanmu.”

Adapun bunyi pesan tersebut adalah;

Aagym:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya…” (Q.S Al Baqarah [2]: 264). Sahabat MARYAS, rezeki kita bukan ucap dan terima kasih ataupun pujian, rezeki kita adalah bila kita dipilih Allah jadi jalan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya, maka tak perlu kita sebut-sebut. Lupakan saja, Allah tak akan pernah lupa.”

Sebuah pesan yang saya terima. Saya kaget! Saya kaget! Saya kaget! Saya kaget lagi. Wwwwaaa… Aaaaa…. 😀 Saya jadi malu. Sebelumnya, saya seringkali mendapatkan pesan berisi tausiyah, namun engga pake nama. Tapi hari ini, nama saya tertulis jelas di dinding nan bercahaya itu. Atau mungkinkah? Ai! Berpositif thinking aja. Buat pengirim pesan, terima kasih ya. Walaupun namamu tidak terukir jelas namun ada sebuah mata yang mengejanya saat ini. Ia membaca dengan sepenuh hati.  Sebuah nama yang tidak ingin diucapi terima kasih. Sebuah nama yang berinisial angka-angka. Sebuah nama yang saat ini sedang tenang di sana. Ia sangat mengerti, mengapa ia melakukan hal ini. Ia menghayati dan memahami firman-Nya.

Dengan membaca, kita menjadi tahu apa yang kita belum tahu. Dengan membaca kita dapat meluaskan cakrawala pikir. Dengan membaca, kita dapat menjelajahi seluruh negeri yang kita mau. Maka rajin membaca adalah salah satu jalan yang dapat menyampaikan kita pada tujuan yang ingin kita kunjungi. Membaca perubahan, adalah penting. Membaca kalimat yang tertulis rapi adalah sangat mudah. Namun, membaca barisan kata yang tidak terucap, sungguh tidak mudah. Apalagi membaca ekspresi yang kita tatap dengan mata nyata. Ya, mata jiwa yang mampu membacanya. Bukankah kita mempunyai dua mata yang selalu kita bawa ke mana kita melangkah. Bukankah mata kita yang dua ini adalah sarana sampaikan inti dari banyak pesan yang kita baca. Adalah membaca mampu membuka mata jiwa kita. Dengan membuka mata jiwa maka kita dapat membaca kapanpun kita mau. Lalu, jangan hanya membaca saja, tuliskanlah makna dari bacaan yang pernah kita nikmati. Agar oranglain juga tahu, bahwa ternyata ada bahan bacaan lain untuk beliau, dari kita. So, setelah  membaca, yuuks kita mengabadikannya menjadi prasasti eksistensi. Agar kita tahu bahwa kita juga pernah ada. Setidaknya, kita pernah ada pada hari ini. Ya, hari ini saja. Karena hari ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk membuktikan bahwa kita ada.

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”. (Q.S Ash Shaff [61]: 2)

🙂 🙂 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”