Quote

Wahai teman, saat ini pada catatan yang ke empat ratus dua puluh empat saya ingin menyusun kalimat tentang bahagia.

Tahukah Anda? Bahwa tidak ada kebahagiaan yang tertunda. Sungguh, tidak ada. Karena kepada siapa lagi bahagia akan hinggap kalau bukan pada kita?

Bahwa kapan saja kita mau mengurai tentang bahagia, maka kita bisa! Selagi kita mau membaginya dengan diri kita terlebih dahulu. Kalau bukan memulai dari diri kita, bagaimana bisa kita membahagiakan orang lain?

Tiada yang tidak inginkan bahagia. Apalagi ketika ia benar-benar membutuhkannya. Lalu, adakah kita menyadari, kalau saat ini bahagia itu sangat lekat dengan diri kita?

Bahagia, bukan hanya kata yang biasa. Namun bahagia adalah salah satu hal yang istimewa di dunia ini. Tanpa bahagia, maka tiada seorangpun yang mau mendiami alam ini. Bahagia, walaupun ia masih ada dalam harapan, namun bersama harapan yang terucapkan, terungkapkan, terkatakan lalu terbariskan dalam senyuman, maka ia segera menitiskan pesonanya.

Tentang bahagia, adakah cara untuk memancingnya? Ketika kita merasa ia terlalu jauh nun di ujung sana. Padahal kita sangat ingin merengkuhnya, lalu tak.. tak.. tak.. inginkan lagi berjarak dengannya walau sehasta atau sedepa.

Bahagia adalah satu cita yang selamanya menjadi bukti perjalanan. Ada sebait prosa yang ia cipta di dinding-dinding istana hati yang mendamba bahagia. Meskipun ia tidak menyangka, ternyata bahagia ada bersamanya.

Bahagia, mana mungkin ia meninggalkan kita, kalau kita yang menjaganya senantiasa. Bukankah bahagia adalah peliharaan bagi jiwa-jiwa yang merdeka? Bahkan, jiwa yang serupa adalah sahabat karibnya yang paling dekat.

Haruskah kita menitikkan airmata pada mulanya, sebelum bahagia menjerat kita dalam tangkup cintanya? Bukankah bahagia artinya kebebasan? Lalu, mengapa masih ada airmata yang menitik, kalau bahagia dengan dirinya ada dalam luasnya kehidupan yang sempurna. Mengapa ketika kita menitikkan airmata, tiba-tiba ada lega yang menelusup di ruang jiwa. Ia tersenyum seketika, walaupun basah wajah oleh permata yang berkilauan, belumlah mengering. Itulah bahagia yang sesungguhnya.

Bahagia adalah ketika ketenteraman hati dan ketenangan jiwa menaungi kita. Bersamanya, kita kembali melangkahkan kaki yang katanya ‘penat, lelah, letih dan lemah’, namun ia masih terus berjalan dan bergerak. Bukankah ia melanjutkan perjalanan bersama bahagia?

Bahagia, ia tidak terletak pada wajah yang lebih sering tersenyum dan menampakkan muka ceria. Namun si wajah tenang dengan tatapan matanya yang teduh, pun sedang berbahagia saat ini. Ia bahagia, karena dengan ekspresi yang demikian, ia mampu membuktikan pada dirinya sendiri. Bahwa bahagia itu ada pada siapa saja yang mau membersamainya.

Bahagia, apakah ia mesti mewujud dalam kata-kata yang tersurat? Bukankah ekspresi yang tersirat juga merupakan bahagia yang tidak tampak oleh mata yang menatap? Kalau memang kita bahagia, semestinya ia tertangkap dari segala gerak, gerik dan perilaku yang kita upaya. Bukanlah bahagia untuk dibahasakan dalam tulisan dengan beraneka  gaya. Namun bahagia adalah kalau kita mau membaca kembali tulisan-tulisan yang pernah kita rangkai. Walaupun ia membuat kita tersipu, malu, lalu merasakan apa itu bahagia bersamanya. Ai! Bahagia itu adalah menikmati apapun jenis rangkaian kata yang pernah kita cipta, lalu mensenyuminya, mentangisinya, kemudian memberi kesempatan padanya untuk membuat kita berbunga-bunga.

Bahagia merupakan salah satu jalan agar ia membuat kita kembali menanya, “Bahagiakah engkau sebelum bahagia?”. Kalau  jawaban kita adalah ‘Iya’, maka berbahagialah. Karena sesungguhnya, tidak ada jeda antara bahagia yang semula dengan bahagia yang berikutnya. Ia saling berantai. Sudah sejauh apa kita bahagia bersama bahagia yang kita cipta?

Bahagia bukanlah pemberian dari siapapun di sana. Namun bahagia adalah salah satu dari sekian banyak ekspresi yang kita layangkan ke dalam jiwa. Lalu, kita memberikan persepsi padanya. Persepsi yang kita rancang sedemikian rupa. Bahagia dapat berupa pemikiran yang hadir untuk bahagia, sebelum kita menjalaninya. Bahagia juga berupa suasana hati yang bahagia, sebelum kita memikirkan untuk bahagia. Bahagia adalah bahagia itu sendiri.

Tidak mudah untuk membuat orang lain bahagia, kalau kita sendiri tidak mau berbahagia. Apalah artinya kebahagiaan yang kita rasa, kalau ada para sahabat di sana yang belum lagi merasakannya. Bukankah kita adalah satu kesatuan yang saling keterkaitan antara satu dengan lainnya? Adakah engkau bahagia saat ini, wahai sahabat?

“Kebahagiaan yang kita rasakan, sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan orang lain,” begini inti dari sebaris kalimat yang pernah saya baca tentang bahagia. Entah kapan dan di mana. Yang pastinya, kalimat ini sangat bermakna. Dan ketika saat ini, ia ada di sini. Maka berbahagia wahai engkau yang sempatkan waktumu untuk merangkai kalimat yang senada. Saya merasakan makna darinya. Sungguh, ia mengandung arti yang tidak hanya tersurat, namun juga menitipkan sebaris pesan. Agar kebahagiaan yang kita rasakan, tak hanya untuk kita. Akan tetapi, siapapun di sana adalah juga perlu menikmatinya.

Bahagialah untuk membahagiakan oranglain. Namun, jangan bahagiakan diri kita sendiri tanpa kebahagiaan oranglain.

Apapun yang kita perlakukan kepada oranglain, adakah kita dapat merasakan apa yang ia rasakan? Maka, pertimbangkanlah sebelum kita memperlakukan orang lain. Bisa jadi, segalanya akan kembali lagi kepada kita.

Apa yang kita sukai, belum tentu membuat oranglain bahagia. Namun, yakinlah bahwa kebahagiaan kita sangat erat hubungannya dengan apa yang kita sukai. Kita tidak akan dapat menularkan kebahagiaan kepada oranglain, kalau kita sendiri tidak sedang berbahagia.

Bagaimana bisa untuk tersenyum, kalau kita belum bahagia. Bagaimana bisa kita bahagia, kalau untuk tersenyum saja, kita engga kuasa. So, semua kembali lagi kepada kita. Bukan dengan tersenyum kita dapat bahagia, namun orang yang bahagia adalah yang murah berbagi senyuman.

Dengan menarik kedua bibir ke samping kiri dan kanan secara bersamaan, kita dapat memulai untuk tersenyum. Lalu, bagaimana caranya untuk tersenyum, kalau bahagia itu belum juga hadir? Tersenyumlah, ya, tersenyumlah saat ini. Maka engkau dapat membuktikan bagaimana efek yang ia bawa.

Masih tidak mudahkah untuk tersenyum? Atau memang rumiiiitt. Ai! Sungguh! Kalau untuk tersenyum pada diri kita sendiri saja, kita penuh dengan perhitungan, lalu dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi dengannya? Ia pasti terluka. Miris, memang. Apabila kita berlama-lama dalam suasana yang seperti ini. Baiklah, kita segera berlalu darinya. Leave it.

Sungguh mudah memunculkan pikiran yang tidak positif. Akibatnya? Selamanya kita akan seperti itu. Lalu, pilihan kembali lagi kepada diri kita. Maunya kita apa? Kalau untuk berpikir positif saja, kita masih berpikir panjang. Lalu, kapan mulai positifnya? Kalau saat ini saja masih demikian.

Ketika masih kecil dulu, kita tidak mengenal apa itu bahagia. Masihkah hari ini kita belum mengenalnya

Ada banyak cara untuk menghadirkan bahagia, ketika ia belum lagi membersamai kita. Cobalah memandang keindahan yang ada di sekitar kita. Lalu, nikmatilah pesona yang ia tebarkan. Meski sebait tulisan yang menyejukkan, walaupun sepasang mata yang meneduhkan. Pandanglah ia dengan sepenuh perasaan. Hanyutkan diri kita keseluruhan bersama relung jiwa yang mengiyakan. “Yes!”, ternyata untuk menjadi bahagia, tidak membutuhkan masa. Hanya hari ini kita ada.

Bahagia tidak untuk kita jadikan bumbu pelengkap dalam meracik menu makanan. Namun, tanpa bumbu? Bagaimana sebuah menu akan kita nikmati? So, pikirkanlah. Bagaimana pentingnya ia dalam kehidupan.

Bahagia saja tidak cukup, kalau kita sedang melanjutkan perjalanan. Bahagia juga belum sempurna, kalau kita masih belum menikmatinya. Maka bahagia yang seperti apa yang sebenarnya kita harapkan? Adakah bahagia itu menjadi sahabat kita yang terbaik?

Bahagia bukan tentang bagaimana cara yang kita tempuh untuk menemuinya. Namun bagaimana cara kita bersyukur atas apa yang kita jalankan ketika ia tiada.

Bahagia bukan menjadikan hari-hari yang kita jalani menjadi penuh senyuman, namun bahagia adalah ketika kita rela menuliskan cinta di pantai nan berpasir. Lalu, kita menyaksikan bagaimana proses yang terjadi setelahnya.

Bahagia, bukanlah lukisan masa lalu yang kita pandangi hari ini. Namun bahagia adalah tentang bagaimana kita menjadi diri kita pada saat ini.

Bahagia akan membersamai siapa saja yang mau berteman dengannya. Baik ketika ia benar-benar bahagia ataupun sebaliknya.

Untuk menjadi seorang yang bahagia, kita tidak perlu mengunjungi berbagai negeri di luar sana. Namun bahagia yang sesungguhnya berasal dari jiwa yang membahagiakan dirinya.

Berpikirlah untuk menjadi seorang yang berbahagia, maka engkau mampu untuk mencapainya.

Pernahkah engkau berkeinginan ataupun membayangkan sesuatu, lalu ia menjadi kenyataan? Potret-potret di atas, adalah bagian dari bayangan saya pada masa lalu. Ai! Indahnyaaaaaa….. 😀 Pandanglah potretmu yang mungkin telah usang. Karena ia adalah bagian dari impianmu sebelumnya.

Apabila kita tidap pernah mempunyai cita dan cinta, maka selamanya kita tidak akan pernah bersamanya. Namun, kalau kita pernah memikirkannya walau sekejap mata, insyaAllah, ada sejumput harapan yang kembali ia semaikan. Ketika kita merasa kehilangannya.

Berulangkali kita mencoba untuk mensenyumkan wajah-wajah yang mulai kelelahan oleh berbagai uji dan coba. Namun, kita masih belum juga bahagia. Mintalah ia untuk tersenyum pada dirinya sendiri.

Kuatnya jiwa tidaklah sebanding dengan kekuatan-Nya. Lalu, bagaimana mungkin kita melupakan-Nya? Dia adalah sumber bahagia.

Selagi nyawa bersemayam di relung jiwa, maka masih ada kesempatan bagi kita untuk membahagiakannya. Kecuali kalau ia telah tiada. Benar-benar tidak berarti lagi kehidupan kita ini.

Jiwa-jiwa yang merdeka adalah bagian dari jalan bahagianya kita. Bersama mereka ada barisan sapa yang  menyampaikan suara, “Bagaimana kabar beliau saat ini, yaa?”.

Orang yang bahagia adalah mereka yang tidak berkata, “Aku Bahagia”. Namun, orang yang berkata, “Aku Bahagia” sudah berusaha untuk bahagia. Walaupun sebenarnya ia belum berbahagia. Maka berbahagialah orang yang mau berbahagia kapanpun ia mau. Meskipun ia tidak pernah mengucapkannya.

Gerakan kita dari waktu ke waktu, bersama perasaan yang bahagia, memikirkan hal-hal yang membahagiakan, menjadi awal dari bahagia yang sesungguhnya.

Kalau untuk berbahagia saja kita perlu mikir-mikir, maka bahagia juga akan berpikir ulang untuk membahagiakan kita. So, mengapa banyak mikir, bahagiakan pikiran maka pikiran akan membuat kita menjadi lebih bahagia lagi.

Orang yang berbahagia adalah orang-orang yang positif. Apabila ia berpositif ria dalam hari-harinya maka lebih mudah baginya untuk berbahagia.

Kita terlahir bukan untuk membahagiakan semua orang, namun dengan membahagiakan semua ketidakbahagiaan, maka kita menciptakan kebahagiaan bagi orang lain.

Untuk menjadi seorang yang bahagia, maka kita perlu latihan lebih sering. Berlatih bagaimana cara untuk berbahagia. Berlatih tentang metode-metode yang kita perlukan untuk bahagia. Berlatih tentang ekspresi bahagia yang akan kita tampilkan. Hey, kalau kebanyakan latihannya? Lalu, kapan lagi kita benar-benar menjadi bahagia? Berbahagialah secara alami.

Pernahkah engkau wahai teman, bertemu dengan seorang yang terlihat bahagiaaaaa saja bawaannya. Ya, engga ada hari yang ia lalui tanpa bahagia. Namun, yakinkah kita kalau ia benar-benar berbahagia dalam waktu yang sama?

Bagaimana cara kita untuk membahagiakan oranglain?  Mungkin kita menuruti segala keinginannya. Namun, yakinkah kita dapat melakukan semua itu?

Dengan mencintai, maka kita menjadi bahagia. Namun, memberikan cinta membuat kita lebih bahagia lagi. Lepaskan ia.

Pancaran rona bahagia yang sesungguhnya, dapat kita lihat dari ekspresi wajah-wajah yang baby face. Lihatlah, bagaimana wajah-wajah itu tersenyum.

Awal mula kita terlahir ke dunia ini, ada bahagia yang Ibunda alirkan pada kita. Masih dapatkah kita merasakan hal yang sama hingga detik ini?

Ibunda adalah jalan bahagia kita. Sudahkah kita mendoakan kebahagiaan beliau?

Bahagianya kita bukan atas usaha dan upaya kita untuk menjadi bahagia. Namun, kebahagiaan seorang Ibu adalah senyuman bagi buah hati beliau.

Bagaimana kita dapat bergaul dan berteman dengan para sahabat yang saat ini ada bersama kita? Padahal kita belum pernah  mengenalnya sebelum hari ini? Adalah doa-doa terindah dari Ibunda yang menjadi jalan pertemuan kita.

Berbagai cara kita lakukan agar dapat berbahagia. Namun, ingatkah kita satu cara agar kita menjadi pribadi yang membahagiakan? Tersenyumlah.

Bahagia yang terpancar dari senyuman yang kita tebarkan, apakah benar-benar bahagia yang kita inginkan?

Bermudah-mudahlah untuk mensenyumkan orang lain, namun kita tidak akan pernah mampu melakukannya, kalau kita belum menempuh jalan yang mampu membahagiakan diri kita.

Kita ada bukan untuk diri kita sendiri,  namun keberadaan kita sangat bermakna bagi orang lain, kalau kita tersenyum bersamanya, ketika ia tersenyum. Dan sebaliknya.

Kebahagiaan tidak dapat kita ukur dengan jumlah kekayaan yang kita miliki, namun seorang yang kaya pasti bahagia. Bahagia karena ia memiliki sumber kebahagiaan. Bukan harta yang melimpah ataupun rumah megah dan mewah. Namun, ia bahagia karena oranglain bahagia selama bersamanya.

Ibu…. senyuman hari ini adalah bukti bahwa kita bersama dan bersenyuman selamanya. Ibu, kasihmu tidak terukur dengan materi yang engkau korbankan. Namun, senyuman yang Ibu tebarkan, menjadi bukti bahwa Ibu melakukannya dengan bahagia.

Ikhtiar, berdoa dan tawakkal adalah jalan untuk menjadi seorang yang bahagia sedunia. Wah! Lalu, apa ikhtiar kita? Apa doa kita? Kapan kita bertawakkal?

Hups! Boleh dong, kita menitipkan sebaris senyuman yang terangkai pagi ini. Agar siang hari yang kita jalani menjadi lebih berseri. Begitu pula dengan sore hari yang menjadi tanda akan tenggelamnya mentari hari ini. Wahai, selamanya senyuman mentari menjadi alasan, mengapa hari ini kita ada di sini. Ya, agar “Mentaripun Tersenyum”.

Tersenyum hari ini adalah jalan untuk tersenyum esok hari. Namun, kalau hari ini kita belum mau tersenyum, bagaimana cara agar kita dapat tersenyum esok hari? Semua dimulai saat ini.

“Dari Abu Dzar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah engkau memandang rendah bentuk apapun dari kebaikan, walaupun engkau hanya bertemu dengan saudaramu dengan muka manis.” Riwayat Muslim.

🙂 🙂 🙂

Tahukah Anda?


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”