Layar baru telah terkembang Ini berarti saatnya telah…


Layar baru telah terkembang. Ini berarti, saatnya telah tiba, untuk kita memulai lagi mengembara di lautan kehidupan. Agar kita tahu, dunia ini adalah berarti. Ya, sebagai jalan yang mengantarkan kita pada arah yang tepat. Kemudian bersamanya, kita menjelang tujuan akhir. Jadi, kita mempunyai kesempatan untuk kembali bergerak. Ketika pada hari ini, kita masih ada.

Oia, ada satu hal unik dan sangat mencuri pandangku pada pagi ini. Apa coba. . . 😀

Apabila kita memandang secara alami, memang tidak ada yang aneh di sini. Terlebih lagi, saya masih berada di tempat yang sama, kini. Di istana hati, begini saya memanggilnya. Setiapkali saya menjelaskan tentang sebuah tempat. Di lokasi yang saya manfaatkan sebagai sarana rehat. Ketika hari telah mulai menutup siang. Lalu berganti rembulan nan tersenyum, menawan. Ya, dampak dari senyumannya yang sampai ke istana hati, membuatku tersenyum pula. Seperti saat ini. Tersenyumku, menanti mentari yang bersiap siaga di belahan bumi yang lain. Yes! Menantinya untuk menyinari istana hati ini. . .

Kemudian, apanya yang unik, yaa…? Mungkin ada tanya-tanya yang engkau hadirkan belum akan terjawab. Sebelum engkau menyaksikannya sendiri. Namun kini, engkau tiada di sini, bersama-sama denganku. Untuk menyaksikan sebuah pemandangan unik yang sedang saya nikmati. Ai! Sempat saya terharu di dalam jiwa. Namun, belum sampai meneteskan airmata. Karena, segera saya mampir di halaman ini. Untuk berbagi denganmu, wahai sahabat, tentang rasa ini. Yeps! Rasa yang ku mau, kita menikmatinya bersama.

“See it!, please.,”. Di ujung kanan tempatku berada kini, ada jejeran dua lembar kain dalam kondisi melipat. Rapi dan tertata. Setelah ku sempatkan waktu untuk memandangnya, meneliti, menatap lagi, maka ternyata mereka adalah satu seprey pinky dan sebuah kain panjang. Wahai, ia melipat berdekatan. Bersenyuman, bertabur bunga melati. Murni dan suci, semerbak . . .

Wait… 🙂 Saya selalu ingat. Seprey pinky adalah pemberian dari Ibu Elly. Meski, beliau kini tiada di sisi. Terima kasih atas segalanya, wahai Ibu yang baik. Pemurah, ai! Saya tersenyum… 🙂 membayangkan, mengingat, wajah beliau yang tersenyum pula, saat ini. “Kangen Ibu…”. Ibu, Yn baik-baik saja. Alhamdulillah… Bagaimana kabar Ibu dan keluarga di Jakarta? Semoga dalam keadaan yang sama, ya Bu. Aamin yaa Rabbal’alamiin.

Wait lagi (boleh, ya…?) 🙂 Saya selalu ingat. Kain panjang nan rupanya bercorak batik, adalah titipan dari Ibunda. Amak. Begini panggilan kami ‘buah hati’ beliau, perempuan yang menjadi jalan hadirnya kami di dunia ini. Lalu, saat ini, ketika raga beliau pun jauh di sana, di desa kelahiran nan jauah di mato. Namun hati kami sama. Dekat, satu bersatu. Kita lebih sering saling menyapa, dalam untaian do’a.

Wahai Ibunda, pertemuan adalah bahagia kita. Pun perpisahan, ia menjadi jalan bagi kita untuk mengenal ‘apa itu bahagia’. Maka, “Semua yang kita alami adalah indah, Nak… Ketika kita mau menikmati hadirnya. Suatu saat, ia akan berganti. Cepat maupun belum. Karena perputaran adalah pergiliran. Sedangkan giliran akan ditempuh oleh semua, iya kan?, Nak…”, tanya Bunda. Untuk meyakinkanku. “Baik, terima kasih, wahai Ibunda. “Taragak Amak”, ai! Menetes bening-bening mutiara dari dasar lautan jiwa. Haru.

@akhirnya, nangis juga… 😀


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”