You, Engkau, Sahabatku


Bahasa Melayu: Pemandangan Bukit Fraser yang d...

Bahasa Melayu: Pemandangan Bukit Fraser yang dipenuhi dengan hotel dan apartment untuk pengunjung (Photo credit: Wikipedia)

“Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun.”

Sebelum salah satu dari jemari ini berhiaskan sebuah cincin yang melingkarinya, maka engkau adalah sahabatku. Namun, ketika nanti telah ada seorang terpilih yang memilih dan menitipkannya padaku, sejak saat itulah engkau perlu menguatkan hati dan menghiburnya selalu ‘bahwa kita adalah benar-benar sahabat selamanya.’ Sahabat? Ya, dengan penuh persahabatan, saya akan mengenalkan beliau padamu. Agar engkaupun tahu, bahwa kita adalah para sahabat yang mampu menjalin pertemanan yang akrab. Lalu, apa makna sahabat yang terpikirkan olehmu, teman?

Apakah sahabat itu adalah seorang yang telah lama belum bersua dengan kita. Pada suatu  ketika ia datang dengan tiba-tiba. Lalu bertanya, “Bagaimana kabarmu, teman?.” Lalu, ia pun menanyakan kabar sahabat kita yang lain, melalui kita. Apakah kita masih menjalin komunikasi dengan sahabat yang beliau maksud. Ketika kita menjawab, ‘belum’, maka sang sahabatpun meminta kita untuk segera menghubungi. Untuk menanyakan langsung, tentang, “Bagaimanakah kabar sahabat yang saat ini jauh di sana?” Setelah komunikasi berjalan, maka kita baru tahu bahwa saat ini sahabat sedang ‘sakit’. Ya, dari suara beliau dapat kita tahu sedang ada beban yang beliau  pikul. Ai! Sudah sejauh apakah kepedulian kita pada sahabat yang saat ini nun berada jauh di mata? Kapan terakhir kali kita bersilaturrahim dengan beliau, semua? Ai! Terharu saya seketika, karena belum sampainya suara yang menyapa, padamu, teman. “Tolong maafkan saya, yaa. Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun.

Ataukah, sahabat itu adalah seperti mentari yang dengan tulusnya, menemani kita dalam menjalani waktu semenjak pagi tiba. Kemudian, ketika saatnya telah sampai, sahabatpun meneruskan langkah-langkah yang berikutnya di alam yang lain. Ya, karena masih begitu banyak tugas-tugas mulia yang perlu beliau tunaikan. Sebelum berlalu, sahabat sempatkan waktu untuk berpesan kepada kita,”Setiap kali engkau menyaksikan mentari bersinar, ingatlah aku ya.” Kemudian, sahabatpun meninggalkan kita yang belum sempat memberikan jawaban. Hanya anggukan yang mampu kita upaya. Kemudian, memandang kepergiannya dengan tatapan mata yang penuh harap. Sembari bergumam, “Semoga esok hari mentari bersinar lebih cemerlang dari hari ini.” Keesokan harinya, sahabat enggaaaaaaa….. muncul-muncul lagi. Entah ke mana beliau pergi. Meski mentari telah bersinar beberapa kali, namun sahabat belum terlihat lagi. Ia hilang, bagai ditelan bumi. Lalu, kita menanya, “Sejauh apakah perjalanan yang sedang engkau tempuh, teman? Hingga belum ada lagi senyuman penuh ketulusan yang engkau tebarkan ketika kita menjalani waktu bersama.”  Esoknya lagi, kita masih mengharap hadirnya. Lagi, lusa hari pun begitu. Namun, setelah beberapa lama, sahabat masih belum lagi kembali. Pada hari selanjutnya, setiap kali mentari bersinar pada pagi hari, sapa sahabat mengusik relung hati. Walau tanpa raganya yang menghampiri, namun sebaris kalimat yang beliau sampaikan sebelum pergi, menjadi jalan yang mengingatkan kita pada beliau. Bahwa, beliau selamanya sahabat kita. Hingga sore menjelang, dalam hari-hari yang senantiasa datang dan pergi, tidak ada lagi kabar yang kita terima dari sahabat. Mentari, akhirnya menjadi penasihat diri, bahwa selamanya sahabat ada di sisi, setiap kali mentari bersinar lagi.  Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Terlebih lagi ketika mentari bersinar cemerlang hari ini. Terima kasih teman, untuk sebaris kalimat terakhirmu, sebelum engkau datang lagi.

Sahabatkah namanya? Ketika pada suatu hari, salah seorang dari teman kita tersedu-sedu datang ke kostan, ia menangis dengan suara yang memilukan. Menangis dengan suara yang begitu menggugu. Huhuuu… huhuuuu…. Lalu, kita hanya mampu menyimak dari dalam kamar, untuk sementara waktu. Memastikan, apakah benar, suara itu dari sahabat yang lain? Kemudian dengan penuh tanda tanya, kita pun mencari informasi, “Mengapa ia menangis? Namun untuk beberapa waktu, tidak ada jawaban. Sebelum akhirnya, terdengar sebuah suara mungil yang menyahut, “Tidak apa-apa. ” Ai! Perempuan, oh.. perempuan, bisanya menangis untuk menguraikan perasaan. Hehee… Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. “Hayooo… siapa yang pernah menangis dengan sedu-sedan suara nan memilukan, saat datang ke kostan, pada hari ini? Ada apa denganmu, teman? Apakah engkau menjadi korban pemutusan? Ataukah ada problema yang belum terselesaikan? Mengapa engkau menciptakan sebuah tangisan, sayang?,” Ai! Pikiran sayapun bertanya macam-macam. Begini nie, akibatnya. Saat saya sedang merangkai sebuah catatan, tiba-tiba sekeliling menghadirkan keriuhan. Maka, ia akan segera merantau ke sini. Yes! Inilah duplikat perjalanan. Keep beautiful, friend. Dengan berekspresi, kita mampu menjadikan hari ini lebih baik lagi. Karena bersamanya kita dapat menyampaikan suara hati.

Atau, inikah sahabat kita? Ketika ia sedang berbahagia sangat berseri. Dengan sebuah cincin yang sedang melingkar di jari manis. Ai! Cincinnya baruuu…. “Hai, Yan! Mau lihat cincin aku? Hayo, ke sini,” sapa Teh Siti. “Iyaaaaaa…… mana cincinnya, teteeeehh,” dengan wajah yang berbunga-bunga, saya segera mengabadikan serangkaian jemari yang tersenyum pula. Jepret! “Yeeeee…. sempat-sempatnya yaa,” kata Teh Siti. Hahahaa…. Yang penting happy. Dan dengan begini, saya mempunyai bahan untuk merangkai catatan hari ini. “Bagaimana ekspresinya, kalau dia yang mengalami, yaa,” curhat teh Siti pada sang tetangga sebelah, Mba Ros pun mensenyumiku. “Iya, ada-ada saja, hehehe… ” jawab beliau singkat. Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Termasuk tentang kejadian pada hari ini. Adakah kisah ini akan dialami oleh orang lain setelah, sebelum, atau saat kita mengabadikan kisah ini? Sungguh! Ketika kebahagiaan sahabat menjadi kebahagiaan kita, dunia menjadi semakin cerah berseri. So, sweet. Hingga siang harinya, sepanjang perjalanan yang kita tempuh, kita mengisi waktu dengan senyuman yang semakin merekah. Mengingat kejadian tadi. Ini adalah hari pertama saya berjumpa lagi dengan teh Siti, pasca ‘berbunga-bunganya’ beliau beberapa hari yang lalu. Semoga dimudahkan ya, Teh hingga ke akhirnya… Membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Bersama mister “S” yang tersenyum lebih sering. Engkaulah istri salehah yang akan menjadi bidadari di hati beliau. Engkaulah sahabat terbaik yang terpilih, ai! Engkau special bagi beliau. Engkaulah Ibunda salehah yang akan mengayomi beliau saat meneteskan airmata dalam kesenduan yang pasti akan pernah beliau alami, selama kebersamaan kalian. Engkaulah permata paling berkilau, menjadi jalan yang mencerahkan pandangan beliau ke depannya. Dengan penuh syukur dan kesabaran, binalah keluarga Rabbani hingga kalian berjumpa dengan-Nya.

Beberapa hari yang lalu, saya sempatkan waktu untuk meminta beberapa bait nasihat dari Teh Siti yang akan melangsungkan pernikahan tanggal empat maret yang akan menjelang. Apakah nasihat itu? Begini,;

“Sebelum membina rumah tangga, kita perlu mengokohkan niat terlebih dahulu. Menyetujui, lalu bertekad bulat untuk menepatinya. Karena niat adalah janji dengan Ilahi. Allah subhanahu wa Ta’ala menjadi saksi. Karena nanti, ketika kita telah berkeluarga, pastikan ada cuaca yang datang silih berganti. Terkadang mendung menggelayuti langit hati, tidak jarang pula semilir angin menghiasi jiwa. Ada masanya mentari bersinar cerah ceria, hingga bunga-bunga senyuman bermekaran semerbak harumnya. Selain itu, ada pula saatnya nuansa alam berhujan ria. Ai! Akhirnya, basahlah wajah oleh airmata. Tidak dapat kita pungkiri, semua ini akan terjadi. Banyak kisah, pelajaran, pengalaman dan petuah yang para orang tua sampaikan. Bahwa selama kehidupan masih berjalan, kita pasti mengalami beraneka rasa. Saat pikiran sedang terbuka, kita dapat berbahagia dalam memanfaatkan waktu yang sedang berjalan. Namun, ada kalanya pikiran kita tertaut pada persimpangan. Akankah kita terdiam begitu lama? Inilah fungsinya komunikasi. Ya, kembalikan semua kepada masa-masa awal kita mengikat janji. Apa yang pernah kita sepakati? Bagaimana kita dalam menemukan solusi? Karena bersama kita bisa! Yes! Jalan yang semakin indah senantiasa menyediakan kesempatan untuk kita tempuhi. Masa depan yang pasti akan menjadi penyemangat diri untuk terus melanjutkan langkah.  Bukankah? Tidak selamanya, kita ada di dunia ini? Kembalikan semua kepada Allah, insya Allah senyuman kembali menghiasi wajah-wajah pasutri yang mempunyai visi mencapai Ridha Allah subhanahu wa Ta’ala. Selamat melanjutkan langkah… Sampai berjumpa lagi, tetehku yang baik hati… Kelak, pada suatu hari, kita akan kembali bercakap ria dan bertukar informasi. Tentang, bagaimana kabar hari ini? Masihkah bunga-bunga senyuman yang bermekaran, senantiasa engkau pupuk, engkau rawat, engkau jaga dan engkau sirami dengan sepenuh hati? Apakah kebun keimananmu semakin subur, yang kini telah menghasilkan buah-buah manfaat dan arti? Bagaimana dengan para generasi penerus kita? Apakah mereka baik-baik saja?”

Melanglangbuana ke masa depan, sungguh sangat menyenangkan. Apalagi kalau masa depan itu penuh dengan mimpi-mimpi yang menyentak hati untuk segera bergerak lebih cepat lagi. Ya, ketika hari ini kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri, dalam rangka berbenah segala rupa, bagaimana akan kita sia-siakan? Bukankah akhir usia ini belum lagi pasti, entah tahun ini, bulan ini, beberapa hari lagi, esok harikah? Ai, bagaimana kalau ternyata, satu jam berikutnya kita telah kehabisan napas dan akhirnya melunglai, lemah tanpa nyawa. Hup! Tulisan ini belum selesai. Hmmm… satu jam belum cukup, sampai akhirnya ia benar-benar ter-posting. Bagaimana dengan menit-menit setelah ini, sedetik lagi belumlah pasti. Alhamdulillah… ketika nanti engkau masih mempunyai jawaban atas semua tanya ini, teman. Berarti saya masih  mempunyai kesempatan untuk berjumpa denganmu. Meski bukan saat ini, semoga setelah ini, yaa.   Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Meskipun raga ini sudah tidak ada lagi, untuk merangkai sebuah kata. Sebuah kata yang menjadi jalan sampainya seulas senyuman dari wajah ini. Wajah yang tersenyum saat merangkai kalimat pada paragraf ini, semoga dapat mensenyumkan wajahmu pula, teman. Ia yang tercipta dengan senyuman, semoga mampu mengukir senyuman pula, di sana. Walau kita belum berjumpa dalam tatap mata dan berhadapan raga. Namun, sebaris senyuman yang engkau tebarkan saat ini, sudah menjadikan saya bahagia. Bahagia karena saat ini engkau tersenyum.

Ketika engkau lagi asyik-asyiknya merangkai senyuman di halaman maya, tiba-tiba ada seorang sahabat yang datang menyapa, “Uni, engga berangkatkah?”. Bersama tanya yang mengalir, beliau segera duduk di sisi. “Iya, sepuluh menit, lagi. Hehehee,” begini saya menanggapi. Lalu, sahabat menemani diri dengan kalimat tanya selanjutnya yang beliau sampaikan. Untuk seterusnya, menghitung waktu seraya menatap jam di dinding. Tujuh menit lagi, lima menit lagi, tiga menit lagi…. “Ai! Menghitung waktu,” adalah aktivitas yang dapat kita lakukan selama menunggu. Ada-ada saja. Kemudian, sepuluh menitpun berakhir. Ini tandanya, saya sudah perlu bersiap-siap dengan segera. Setelah itu, sayapun berangkat. Terima kasih teman, atas waktu yang engkau luangkan untuk mengingatkan saya pada jadwal. Karena, seringkali saya terlalu asyik dengan aktivitas yang satu ini. Aktivitas yang membuat saya tidak ingat lagi, sudah berapa lama saya ada di sini. Rasanya, baru beberapa menit saja. Ia berubah menjadi aktivitas yang menyenangkan. Ketika satu kesempatan untuk berjumpa denganmu saat ini, teman… saya ingin terus bersama-sama selamanyaaa…. Inikah efek dari persahabatan? Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Meskipun waktu untuk berangkat sudah datang dan saya tidak kembali lagi ke sini, untuk tersenyum padamu, teman.   

Sahabatkah? Yang ketika beberapa hari yang lalu, beliau pernah make shampoo kita. Trus, beliau baru ingat hari ini, dan kemudian bilang begini, “Bun,… hehehee…. 😀 (tersenyum lebar) Sorry, aku baru ingat. Beberapa hari yang lalu aku pake shampoo Bundo. Yang ada di kamar mandi, yang warna item. Sorry, baru keingetan bilangnya. Ga-pa-pa, yaa… (merah.. merah.. muka),”. Lalu, begini tanggapan yang hadir, “Xixixiii… iyyaa, ga-pa-pa. 😀 (membalas dengan tersenyum lebar pula). Bagaimana seorang sahabat meminta izin pada sahabatnya, dengan ekspresi yang serius sangat. Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Walaupun nanti kita sudah tidak bersama lagi di kostan ini. Sekalipun sudah membentang jarak untuk menjadi batas pertemuan raga-raga kita. Namun, semoga jiwa kita senantiasa menaut, yaa. Wahai my neighbour, engkau idola sepanjang masa. Tolong doakan Yn untuk berjumpa, bertetangga dengan pribadi seelokmu, ya Nduk. Sampai nanti kami bertetangga pula pada tempat terindah di hari yang abadi. Ai! Ku akan selalu merindukan suara-suaramu itu, friend. Termasuk saat engkau dengan tiada lelah henti, mengingatkan diri ini untuk ‘Tidak Lupa Piket Kamar Mandi,” ketika jadwal saya telah tiba.  Karena ~Kebersihan adalah sebagian dari Iman, kalau engga bersih, engga beriman dong~. Begini bunyi sebaris kalimat yang engkau rangkai pada selembar kertas putih. Dan engkau berinisiatif untuk menempelkannya pada salah satu dinding kamar mandi kita. Sahabat yang sangat peduli. Terima kasih, yaa Siti.’  

Ataukah? Sahabat itu adalah seorang yang beberapa saat sebelum azan Asar berkumandang, beliau menanyakan begini, “Teh, sudah dengar azan-kah, atau belum?” Ai! Sebelum saya menutup bibir ini, setelah menjawab tanya yang sahabat sampaikan, tiba-tiba terdengar suara merdu sang muadzin dari masjid terdekat. Inikah cinta?  Inikah keramahan semesta yang sedang melingkupi sang hamba? Inikah persahabatan yang sesungguhnya? Ketika ia menjadi jalan yang mengingatkan kita pada-Nya. Inikah sahabat yang selamanya akan menjadi sahabat kita? Kalau memang engkau benar-benar sahabatku, maka kita akan saling mengingat sampai kapanpun. Siapapun engkau, di manapun engkau saat ini berada. Walau terpisahkan oleh jarak, semoga di kota ini kita dapat berjumpa. Walau dipisahkan oleh pulau, semoga di negeri ini kita bersua. Meskipun dipisahkan oleh negara, semoga di negara yang terbaik, kita berkumpul. Nah! Sekalipun di dunia kita tidak pernah akan dapat berjumpa, semoga di akhirat kita dapat saling bersapa. Sekalipun di alam sana… Sebagai tetangga, engkau adalah idolaku. Sebagai bagian dari anggota keluarga, engkau adalah saudaraku. Kalau engkau taman yang menyejukkan, semoga kupu-kupu yang sedang terbang dengan sayapnya yang ringan itu adalah aku. Semoga engkau dapat segera mengenaliku, sebagai kupu-kupu terindah di taman hatimu.

🙂 🙂 🙂

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S Ar Rahmaan [55]: 60-61)

 


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”