315, Sip!


Bahasa Indonesia: masa kecil yang bahagia

Bahasa Indonesia: masa kecil yang bahagia (Photo credit: Wikipedia)

Perjalanan waktu semenjak tahun-tahun yang lalu, terus berlangsung. Dengan izin dari Allah subhanahu wa Ta’ala, saat ini kita kembali berjumpa dan bertemu dalam sapa. Walau belum bertatap mata.

Apakah ada bahagia yang engkau rasakan saat pertemuan ini berlangsung?

Engga terasa, yah. Sudah hampir empat tahun kita bersama di sini. Banyak kenangan yang tercipta tak hanya dalam ingatan selama kebersamaan. Tidak hanya dalam ingatan namun juga mewujud dalam nyata. Kenangan yang menjadi bagian dari prasasti kehidupan kita.

Ya!

Walau telah sekian lama waktu menemani, dalam hal ini seakan baru saja terjadi. Tentang perkenalan, pertemuan, kebersamaan dan keakraban yang terus kita taut eratkan. Dan saat ini, kita masih bersama. Kita masih bersama, ya. Bersama.

Wahai teman, atas alasan apa, engkau sempatkan waktumu untuk menjenguk lembaran catatan ini?  Apakah karena engkau rindukan aku? Ataukah karena aku yang sangat merindukanmu? Ai! Jangan-jangan kita yang saling merindukan…  Abs!

Menyinggung tentang satu kata ‘rindu’, ingatkanku pada sekepinghati. Hati yang menjadi jalan hadirnya kerinduan tadi. Karena, memang ia tercipta untuk mengalirkan rasa tersebut. Lalu, apakah yang engkau pikirkan tentang hal ini, teman?

Kerinduan yang membutuhkan keikhlasan saat ia tercipta. Keikhlasan yang mempunyai ciri-ciri:

  1. Terhadap pujian maupun cacian yang diterima, seorang yang ikhlas menganggapnya sama saja. Tiada beda.
  2. Perbuatan yang telah dilakukan, dalam rangka beribadah. Hanya itu.
  3. Tidak mengharapkan – [Ia menyerahkan hasil dari perbuatannya kepada Allah semata]

Dalam beramal, kita perlu melakukannya dengan keikhlasan. Keikhlasan yang terbagi menjadi tiga (3) tahapan, diantaranya:

  1. Melakukan sesuatu untuk meningkatkan ketaatan dan menghambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
  2. Mengerjakan ibadah untuk memperoleh pahala di akhirat
  3. Melakukan sesuatu, aktivitas, berinteraksi, dan bersikap baik untuk memperoleh kebahagiaan di dunia, selamat dari penyakit dan godaan.

Lalu, keikhlasan kita terletak pada bagian yang manakah, hingga saat ini. Pada point yang keberapakah, kita menempatkan keikhlasan dalam melakukan sesuatu? Keikhlasan yang bermula dari hati yang meniatkan sebelum kita melakukannya dalam perbuatan.

Termasuk tentang satu kata dasar bernama ‘rindu’, ia pun membutuhkan keikhlasan sebelum tercipta. Karena, tidak ada rindu yang terjadi dengan tiba-tiba, tanpa niat  saat menerbitkannya di dalam hati terlebih dahulu. Ya, kerinduan yang hingga saat ini masih mengalir di dalam hari-hari yang sedang kita jalani, adakah kerinduan yang murni, berasal dari hati yang terawat dengan rapi?

Hati, sekepinghati yang selama ini menemani kita dalam melangkah dan berjuang. Untuk meneruskan perjalanan dalam kehidupan, hingga saat ini. Masihkah ia mempunyai kerinduan yang alami? Ataukah, telah terselingi dengan berbagai maksud lain di luar keikhlasan? Yakinkah kita, bahwa semua itu ada untuk mengalirkan apa yang memang benar ia alami? Tentang kerinduan pada hari-hari yang penuh dengan senyuman, seperti malam ini.

Wahai teman, masih teringatku, tentang masa-masa sebelum pertemuan kita, dulu. Masa yang mengingatkanku pada detik-detik seperti ini. Detik yang benar-benar kita alami bersama, sebagaimana saat ini. Masa yang sebelumnya masih menjadi bayangan saja. Akhirnya, benar-benar kita alami pula di dalam kenyataan. Tersenyummu saat berjumpa dengan saudaramu yang lain, adalah sedekah. Begini sebaris pesan yang saat ini melintas dalam ingatanku. Dan kalimat tersebut hadir lagi, beberapa saat setelah engkau tersenyum padaku, saat kita bertatap mata.

Sungguh, kedamaian yang seperti apa lagi yang kita damba, melebihi ini teman. Saat mata kita bertemu, lalu segera bibir tertarik ke samping kiri dan kanan secara simetris. Lalu, suarapun mengalir, meski pelan. Nada yang ia alunkan, tak melebihi kemampuan kita untuk dapat menangkapnya. Nada yang datar, nada dasar dari sebuah warna suara. Dan suara tersebut berasal dari dirimu, teman.

Suara yang sudah saya hapal dengan jelas. Suara yang bukan asing oleh indera pendengaran ini. Nada yang penuh dengan warna. Walaupun tak sepenuhnya engkau mengeluarkannya. Karena, ia mengalir di antara derasnya suara yang bersahutan di sekitaran. Yah, saat kita sedang berada di keramaian. Engkau yang ku temui untuk ke sekian kalinya. Ternyata tidak banyak berubah. Hanya engkau, masih dirimu yang dulu, dengan ciri khasmu yang menjadi ingatan tersendiri bagiku.

Walau hanya untuk beberapa masa kita bersama, dan mungkin tidak akan selamanya. Namun, malam ini adalah kesempatan terbaik yang sama-sama kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Untuk sekadar menyapa, mensenyumi satu sama lainnya. Seakan, saat ini adalah kesempatan terakhir bagi kita untuk saling menebarkan kebaikan.

Tidak lama lagi, kita mungkin saja tidak akan berjumpa. Mengingat tentang usia yang sepenuhnya berada dalam genggaman dan kuasa-Nya. Maka, menjalani hari-hari terindah atas pertemuan kita saat ini, adalah pilihan. Pilihan yang telah kita putuskan, untuk kita jalani. Kalau bukan saat ini, kita belum tentu akan berjumpa lagi.

Sejenak, aku tertegun penuh tanda tanya di dalam hati, beriring sapa yang engkau alirkan dari bibirmu. Engkau mengungkapkan tentang segala yang engkau rasakan. Baik rasa yang hadir sebelum kita berjumpa, maupun saat kita benar-benar dapat menjalani kebersamaan seperti malam ini.

Sungguh, aku kembali ingin merangkai tanya yang sebelum ini mengalir begitu saja. Tanya yang kalau aku biarkan maka ia tidak akan pernah ada.

“Tanya yang bagaimanakah,” begini engkau menanyakan.

“Wahai teman, atas alasan apa, engkau sempatkan waktumu untuk menjenguk lembaran catatan ini?  Apakah karena engkau rindukan aku? Ataukah karena aku yang sangat merindukanmu?,” rangkaian kalimat berisi pertanyaan yang akhirnya aku tutup dengan,  sebaris suara hati, “Jangan-jangan kita saling merindukan.”

***

Pada saat merangkai kalimat demi kalimat di atas, saya sedang berada di samping dua orang sahabat yang lain. Adapun aktivitas yang kami lakukan pada saat bersama tadi, adalah menyimak tausiyah yang disampaikan oleh seorang Ustaz dalam jeda waktu antara Isya’ dan Tarawih.

Makanya, di dalam rangkaian kalimat ada kata yang berhubungan dengan ‘ikhlas’. Karena memang, tema dari materi yang sedang beliau sampaikan adalah tentang keikhlasan. Adapun judul tausiyah adalah “Ikhlas saat mendengarkan.”

Mendengarkan apa? Apa yang kita dengarkan?

Dalam hari-hari, dari waktu ke waktu, kita mendengarkan beraneka jenis suara. Adapun suara-suara tersebut, dapat kita dengarkan karena Allah menitipkan kita indera pendengaran dengan fungsi yang sempurna. Alhamdulillah…  Lalu, apakah kita telah mengoptimalkan fungsi indera pendengaran yang merupakan titipan dari Allah Yang Maha Baik? Karena, setiap titipan akan kita pertanggungjawabkan. Atas penggunaannya selama bersama dengan kita. Apakah kita menjaganya tetap dalam keadaan terbaiknya? Mulai dari titipan tersebut kita terima. Hingga nanti dalam waktu yang pasti, kita mengembalikan pada pemiliknya.

Dari banyaknya aneka jenis dan keragaman suara yang sampai pada indera pendengaran kita, ada yang kita sukai, maupun tidak. Lalu, bagaimana sikap kita dalam menanggapinya? Apabila kita memang benar-benar menyukai salah satu dari sekian banyak suara yang kita dengarkan, tentu kita dapat menikmati waktu bersamanya. Nah! Berbeda halnya, apabila suara-suara yang kita dengarkan, sangat tidak kita sukai sama sekali. Apakah kita segera mengambil tindakan terbaik, dalam rangka menjaga titipan yang sedang kita bawa?

Saat ini, malam hari di sini. Dalam kelamnya yang mulai menggulita, seakan tiada suara-suara yang terdengar dari alam-Nya. Hanya, detak jarum jam yang terus berulang, terus berdetak. Detaknya yang sangat jelas terdengar hingga ke indera pendengaran ini. Seakan ia mempunyai nada tersendiri. Sungguh berirama, tertata dan mengalir dengan damai.  Begini yang terjadi, dari waktu ke waktu. Setiapkali aku menyimak jarum jam di dinding, terutama ketika sepi. Ya, dalam kondisi sunyi, kita akan dengan mudah mendengarkan detak-detiknya yang semakin deras saja terdengar. Apabila kita menyimak dengan seksama, ia titipkan kita bait-bait pesan. Pesan yang mengajarkan kita untuk mengambil pelajaran darinya.

Dari detak jam di dinding, kita dapat mengambil beberapa baris pesan, diantaranya:

  • Waktu terus bergulir,  sebagaimana air yang mengalir. Adapun air yang mengalir,  lama kelamaan akan menjadi jernih.  Maka, alirkanlah aktivitas yang dapat menetralisir kejernihan pikir, dan hati dari waktu ke waktu. Salah satunya adalah dengan menjaga pendengaran; Usahakanlah.
  • Detak jam di dinding, mengingatkan kita tentang perjalanan waktu. Sedangkan detak jantung maupun suara hati, mengingatkan kita tentang perjalanan diri.  Maka, selain mendengarkan detak jam di dinding ketika sunyi, menyimaklah suara hati yang sedang engkau bawa. Ia mengajarkanmu bagaimana cara mengalirkan rasa yang ia alami.
  • Ketika jam di dinding berdetak, kita dapat menyaksikan wujudnya dengan jelas. Sedangkan saat hati bersuara untuk mengalirkan apa yang ia alami, kita tak dapat menatapnya dengan kedua mata ini sebagaimana jam di dinding.
  • Ketika debu-debu yang menempel pada permukaan jam dinding dapat terlihat sebelum kita membersihkannya, maka debu-debu yang menempel pada hati, tidak, tak, tak dapat kita memandangnya. Hanya saja, kita dapat merasakan, bagaimana kondisi terbarunya. Setiapkali kita menyempatkan waktu untuk meneliti, mengintip perubahan yang sedang ia alami, maka saat itu juga, akan kelihatan bagaimana kondisinya.
  • Apabila kita tidak ingin mendengarkan lagi detak jam di dinding yang semakin lama semakin cepat, maka kita dapat merengkuhnya segera, lalu mengeluarkan baterainya. Maka ia akan tidak bersuara lagi. Ia akan diam dan membisu. Namun, bagaimana halnya dengan hati yang menggemuruh tiada henti. Untuk menyampaikan apa yang sedang ia alami. Untuk meraihnya dengan segera, tentu kita tidak kuasa. Lalu apa daya, selain menenangkannya dengan segala upaya. Ia akan tenang, dengan mengingat Allah.
  • Masih ingatkah kita dengan firman Allah yang terdapat di dalam Q.S Ar Ra’d : 28, teman…? Ayat yang mengingatkan kita kepada pemilik hati yang sesungguhnya. Pemilik Yang menitipkannya kepada kita. Untuk menemani kita dalam meneruskan perjalanan dalam kehidupan ini. Dan Allah Maha Tahu, bagaimana kondisi terkininya. Semoga, setiapkali hati kita tak tenteram, menjadi jalan bagi kita untuk segera mengingat-Nya. Lalu, mengembalikan segala urusan yang berhubungan dengan ‘si dia’ kepada Pemiliknya.
  • Untuk membersihkan kaca pada permukaan jam, kita dapat menggunakan tisu atau kertas koran dan sejenisnya. Namun, untuk mengelap hati yang penuh dengan tempelan noda-noda, tak sama. Kita yang tidak menggenggamnya, sungguh sangat memprihatinkan, kalau tak berupaya untuk menyapa Penggenggam hati. Bukankah kita tidak pernah tahu, kapan terakhir kali dapat membersamainya? Apakah malam ini?
  • Apabila kita membiarkan hati beraktivitas sesuai dengan keinginannya saja. Mungkin ia akan meninggalkan kita yang akhirnya bertanya-tanya, “Kemana perginya sahabat yang selama ini menemani?”. Sedangkan ia tidak akan mengetahui pertanyaan yang sedang kita sampaikan teruntuknya. Karena ia telah terlalu jauh berjarak dengan kita. Ujung-ujungnya, kerinduan padanya pun menebari semesta.
  • Kita bertanya pada sesiapa yang kita temui di perjalanan, tentang kondisinya yang sedang kita usaha untuk menemui. Kita sempatkan pula menanyai pada semilir angin yang sepoi-sepoi. Pada mentari yang bersinar semenjak pagi hari, pun kita alirkan pertanyaan. Namun, semua tak dapat memberikan jawaban. Karena mereka tidak mengetahui, kemana perginya sekepinghati yang selama ini kita bersamai.
  • Untuk mengenali sesiapa yang kita persahabati, kita perlu mengenali terlebih dahulu siapa diri ini. Setelah itu, kita dapat tersenyum pada akhirnya. Karena, pada umumnya, dan sesuai dengan pengalaman pribadi yang saya alami, ingatan dapat memperpanjang untaian tali kerinduan. Apabila kita tidak berusaha untuk mengalirkannya. Maka, tali tersebut akan semakin erat terjalin dalam ingatan. Berbeda kalau kita menguntainya bersama benang-benang kata. Maka ingatan akan menempel dalam prasasti hari ini.

   Malam ini, sebagaimana derasnya detak jam di dinding yang semakin bergemuruh, kerinduan padamu teman, semakin menderu. Semoga, dengan mengalirkannya dalam salah satu lembaran catatan ini, ia mulai menemukan tempat bersinggah. Bak buih yang bertaburan di lautan, mulai menepi ke pantai bahagia. Aku bahagia, mengenalmu. Aku lebih berbahagia lagi, saat ini kita masih bersama. Lalu, ketika nanti kita berjarak untuk beberapa lama, semoga catatan saat ini menjadi pengingat. Bahwa kita pernah bersama dalam masa yang akan berlalu.

Beberapa tahun kemudian….

Aku yakin. Bahwa engkau akan menemukan rangkaian ini, teman. Nah! Ketika engkau benar-benar mampir di sini, adakah karena kita saling merindukan? Ataukah,  hanya engkau yang merindukanku? Atau lagi, hanya aku yang merindukanmu? Wwwwwwiiiiwwwww, semoga kita saling merindukan yaa. Meskipun untuk beberapa lama. Dan kita belum lagi dapat menangkap kilatan cahaya yang memancar dari sorot mata masing-masing.  Namun, ketika kita saling merindukan, gemerlap benderangnya sinar hatimu, menembus relungku. Dan pada saat ini, aku semakin merindukanmu.

Sebatas jarak yang menjadi jeda pertemuan kita adalah ruang untuk mengumpulkan kerinduan. Dalam ruang tersebut, semoga senyuman senantiasa dapat kita taburkan. Menebarkannya dalam berbagai kondisi, suasana dan situasi, adalah langkah-langkah nyata untuk merubuhkan batas yang menghalangi pertemuan. Karena yakinlah teman, setiapkali kita saling mengingat, maka setiapkali itu pula engkau ada di sisi. Begitu pula dengan kehadiranku di sisimu. Aku ada kapan saja engkau merindukanku.

Lalu, Allah Yang Selalu Ada dan sangat dekat dengan kita, rindukah kita pada-Nya?  Ketika kelam malam terus menanjak tinggi. Menyisiri tepi waktu yang terus bergulir tiada henti. Sebentar lagi, ya sebentar lagi kesempatan yang kita punyai. Untuk menguraikan kerinduan ini. Seiring dengan hadirnya titik pada paragraf ini. Maka kesempatan tersebutpun usai. Semoga, masih ada kesempatan bagi kita, untuk berjumpa, yaa. Walaupun dalam rangkaian kalimat nan mengalun entah pada siapa…  di sana. Namun, percayalah teman, siapapun engkau, yakinlah bahwa engkau berarti. Tak hanya saat ini,  namun hingga akhir nanti. Aamiin.

🙂

🙂

🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”