Hayuu Laaa…


Bangkitlah!

Bangkitlah!

Aku melihat ada mendung yang menggantung di sudut matanya. Mendung yang beberapa saat kemudian pun menetes perlahan, membasahi pipinya yang tirus. Apakah yang ia alami? Hingga sebegitu dalam duka yang menerpa hatinya?

Pertama kali, aku menyaksikan kondisinya yang sedemikian. Lalu, ku coba menyapanya, agar ia tidak terlarut dengan keadaan. Ku berharap, dengan menyapa meski beberapa patah kata dalam nada suara, ia kembali mau menegakkan bulu-bulu matanya yang biasa berkedipan. Itu ketika ia penuh dengan keceriaan. Namun kini, suasana sungguh berlawanan dengan biasa. Ia sedang hanyut dengan perasaannya sendiri.

Bulir permata kehidupan yang semenjak tadi ia coba menahan agar tidak tumpah, kini telah membanjir menganak sungai di bagian pipi kirinya. Lalu, ku lihat ia mengelap dengan tissue berwarna putih. Beranjak ku mendekat, untuk menyentuh pundaknya yang ia rebahkan. Namun ia tidak menyadari kehadiranku. Termasuk suara yang semenjak tadi aku sampaikan melalui semilir angin, di daun telinganya. Ia tidak merespon sama sekali. Diam. Membisu. Ia memilih tidak mengeluarkan suara sama sekali. Karena ia sedang tidak mood, bisiknya. Hihii.. si moody, sahabat ku.

Ada kedamaian yang masih ia jaga. Bersama ketenteraman yang sedang menaunginya, ia masih bersandar pada sebuah meja. Meja yang ia jumpai dalam perjalanan menuju pulang. Meja yang ia yakini mampu dan mau mendengarkan suara yang ia bisikkan meski tanpa nada. Meja yang bersedia bercakap-cakap dengannya, meskipun hanya dengan tatapan mata. Walaupun mata yang sedang membuka itu tanpa cahaya. Ya, binarnya sedang tiada. Hanya saja, ia ingin mencurahkan rasa yang sedang ia alami pada saat yang sama. So, demikianlah adanya. Ia sedang merenungi keberadaan diri.

Memang tidak banyak yang tahu, bagaimana perasaannya saat itu. Karena ia hanya ingin merasakan dengan dirinya terlebih dahulu. Sekalipun sesiapa yang sedang berada di sekitarnya begitu peduli, lalu menanyai, “Ada apa yang terjadi?”

Namun dengan gelengan kepala yang perlahan, ia menjawab tanpa suara. Terima kasih atas tanya ini, yang aku belum mampu menjawabnya. Sorry, lirih jawaban yang mengalir dari bibirnya yang segera mengatup. Sedangkan penanya pun segera memahami. Karena keadaan alam sedang bermendung, di wajahnya.

Beberapa puluh menit kemudian…

Syalala…

😀

Wajah yang semenjak tadi berselimutkan kabut tipis, pun semarak, berbinar, cerah dan berseri. Ada yang terkaget, lalu kembali menanyai, “Aii, wajahnya sudah berseri lagi, tadi apa yang terjadi”

“Xixixiii… Hanya bagian dari episode hari ini,” jawabnya dengan wajah yang penuh senyuman. Kemudian, melanjutkan aktivitas sepenuh hati.

***

Seperti musim yang seringkali berganti, begitu pula dengan suasana hati. Ada saatnya kita berbahagia penuh dengan senyuman. Ada pula saatnya mendung menggelayuti ruang hari ini. Lalu, apakah yang dapat kita upaya, agar keadaan tidak berlarut dalam waktu yang lama? Bagaimana cara yang dapat kita lakukan, agar senyyman kembali menjadi bagian dari waktu yang sedang kita jalani?

Ingin hati mengalirkan senyuman yang sedang menyinari hati. Namun, ada waktunya berat sekali untuk tersenyum. Mengapa? Ya, Mengapa hal yang seperti ini terjadi?

Kembali aku menanyai dengan sendiri. Sedangkan jawabannya pun segera mendekat, saat ini. “Tidak ada alasan untuk tidak memahami sekitar kita.”

Ya, begitulah jawaban yang paling komplit dan lengkap atas tanya yang mengalir dengan mudahnya. Agar, dalam berbagai keadaan, kita dapat memahami sekitar. Ketika kita dalam suasana bersuka cita, ternyata nun di hadapan kita sedang membentang selembar wajah yang berat untuk tersenyum. Maka untuk pertama kali, tersenyumlah terlebih dahulu. Insya Allah, suasana akan berubah dengan cepat sekali. Ini telah aku buktikan pada hari ini.

Mendung yang menggelayuti ruang hati ku, perlahan menggeser hingga ke tepi. Tepatnya, setelah beberapa kali berhadapan dengan wajah-wajah yang penuh dengan senyuman. Para sahabat di sini, kolega yang berbaik hati, segera mensenyumi ku terlebih dahulu. Meskipun untuk tersenyum saja, aku belum sanggup.

Ai! Alangkah indahnya kebersamaan dengan wajah-wajah yang berseri. Tentu saja hari-hari yang kita jalani menjadi berkesan dan membekas di hati. Wajah yang sekalipun belum pernah kita tatap, contohnya. Namun, kalau pada saat yang sama kita sedang membaca rangkaian kalimat yang sedang beliau rangkai, kita pun tersenyum. Senyuman yang dengan ringannya mengembang dari wajah ini. Padahal, sudah beberapa puluh menit yang lalu, ia belum lagi bersama dengan senyuman.

Maka, atas pengalaman ini, aku pun seringkali mempunyai kenangan. Saat wajahnya sedang belum tersenyum, tiba-tiba mata ku menatap barisan kalimat yang mensenyumkan. Maka, aku pun segera teringat dengan beliau yang merangkai kalimat tersebut. Lalu, aku pun mengimajinasikan wajah yang penuh dengan senyuman sedang berada di hadapan. Beliau secara tidak langsung, telah membuatku tersenyum. Dan benar-benar nyata. Aku dapat tersenyum segera.

Nah! Begitu pula dengan keberadaan ku saat ini, di sini. Aku yang membawa wajah tanpa senyuman, belum akan berhenti merangkai kalimat pada lembaran ini, sebelum aku merasakan wajah ini benar-benar sedang tersenyum. Makanya, semakin banyak kalimat yang mengalir, berarti semakin terdeteksi, bagaimana suasana hati ku pada saat yang sama.

Seperti saat ini, kalimat yang masih belum berakhir, mencerminkan segalanya. Hingga aku bertanya sendiri, tentang apa yang sedang aku alami. Mengapa belum mampu aku tersenyum? Padahal aku merasakan kedamaian di sekitaran. Tiada sesiapa. Termasuk suara-suara para sahabat yang biasanya pada jam segini, 19:02 PM, ramai sekali. Namun kini, sepi sungguh sunyi. Pada ke manakah beliau semua pergi?

Hiii… ada sedikit aura yang menelusuri raga ini. Aura yang tidak biasa. Di tambah lagi, saat ini dalam suasana malam. Gelap dan gulita di luar, sunyi tanpa suara. But, akhirnya dari kejauhan, terdengarlah suara yang sudah tidak asing lagi. Azan sudah berkumandang. Isya sudah datang. So, mari kita segera berbenah dan mempersiapkan diri, untuk mendirikan shalat, segera. Tentu saja dengan memulakan berwudu terlebih dahulu. Itu pun kalau kita sudah tidak punya wudu lagi. Namun, kalau masih ada wudu, dan yakin, segera lah berdiri.

Karena dengan mendirikan shalat, maka tenang lah hati yang berkecamuk tidak menentu. Ada kedamaian yang segera menerpa hati, buktikanlah.

🙂 🙂 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”