Tentang Engkau dan Aku


Biru Bercorak

Biru Bercorak

Sekilas terlihat raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Hal itu tergambar dari sorot matanya yang turut membuktikan, bahwa ia sedang dalam suasana bahagia. Bahagia yang tidak lagi terlukiskan meski dengan susunan kata-kata. Bahagianya itu terpancar pula melalui senyuman yang ia tebarkan dengan lepas.

Bebas, ringan dan jelas.

Sesaat setelah kami berpapasan, rona kebahagiaan itu pun tertinggal di relung hatiku. Aku bahagia dapat mengenalnya, walaupun sekejap saja kita bersama. Aku bahagia pernah menemuinya, walaupun saat ini kami belum lagi dapat bertatap mata. Hanya ingatan yang kini menjadi penghubung antara kami. Ya, walaupun terpisahkan oleh jarak yang membentang, kami seakan masih bersama hingga saat ini.

Ketika kami bersama, ada nilai yang ia bagi. Ada harapan yang ia semaikan di relung hati. Ada senyuman yang ia titipkan pada diri ini. Aku yang baru mengenalnya pada waktu itu, kini terkenang akan ia. Teman masa lalu yang lebih sering bertengger di dalam ingatan. Wahai, siapakah engkau yang sesungguhnya? Hingga tiada henti pikir mengalir, hingga ia bermuara padamu. Sosok yang terlihat meski sekilas, namun jelas bahwa engkau ada.

Memang hanya beberapa menit saja kita bersama, pada masa yang telah berlalu. Memang belum sempat kita mengajukan tanya untuk saling menyapa. Memang, memang hal yang demikian yang terjadi. Hanya saja, aku tidak habis pikir tentang apa yang saat ini menari-nari dalam ruang ingatanku. Tentang engkau yang pernah ku temui. Tentang engkau yang akhirnya menempel lekat dan ingatan. Walaupun kebersamaan kita tidak lagi terekam di bawah terpaan sinar mentari hari ini. Karena hampir seharian tadi, hujan turun membasahi bumi.

Engkau yang serba bisa. Bisa membuatku tersenyum seketika. Bisa menjadikan ku tahu, tentang makna kehadiranmu. Bisa memberikan warna-warni pada waktu yang sedang aku jalani. Walaupun adanya dirimu tidak sempurna segalanya. Namun, dari sorot matamu yang berbicara, jelaskan semuanya tentang kebisaanmu.

Untuk menahanmu tetap di sini, agar kita dapat bersama lebih lama tentu bukanlah hakku. Walaupun demikian, masih ada harapan yang terus ku nyalakan dalam setiap waktu yang menjelang. Agar engkau dapat kembali setelah lama menghilang. Menghilang sejenak dari kehidupanku. Untuk meneruskan langkah-langkahmu. Karena dengan alasan itu, engkau melakukannya.

Engkau yang mempunyai mimpi dan harapan di hadapan. Dan engkau ingin merengkuhnya dengan usaha terbaikmu. Walaupun tanpa bersamaku, untuk saat ini. Namun yakinlah, ada aku di sisimu setiapkali engkau ingat aku. Dan akupun yakin akan kehadiranmu di sisiku, saat ingatan padamu memenuhi ruang pikirku. Yakinku sungguh menggunung tinggi, akan hal ini.

Engkau, satu hal yang membuat aku kagum denganmu. Adalah engkau yang tidak memanfaatkan hakmu untuk kepentingan pribadimu semata. Ya, contohnya saja. Walaupun merokok adalah hak masing-masing pribadi, namun engkau tidak berpikir demikian. Bagimu, tidak selamanya hak menjadi hakmu. Engkau merelakan hak yang semestinya milikmu, karena engkau begitu peduli dengan nasib orang lain. Sungguh teladanmu mencengangkanku. Di era yang penuh dengan goda dan liku seperti ini, ternyata masih ada orang yang memegang teguh prinsip berkawan. Prinsip yang menjadi jalan hidupnya. Prinsip yang membuatmu gemar menjadi dirimu sendiri. Tentu saja dengan tidak mudah tergoda oleh lingkungan. Meskipun lingkunganmu begitu membuai. Namun engkau tidak pernah tergerus olehnya. Begitu penalaranku tentang kepedulianmu pada sesama.

Aku yang baru saja memperhatikanmu, seakan tidak percaya dengan apa yang ada. Tidak percaya, masih tidak percaya. Bahwa engkau bukanlah perokok berat. Bukan pula perokok ringan. Lalu, bagaimana dengan menjadi perokok pasif? Engkau bukan pula berada pada golongan ini. Karena engkau sangat pintar dalam memilih lingkungan. Diantara teman-temanmu yang mungkin adalah perokok, tentu saja sesekali pernah berdekatan denganmu. Nah! Dilema deh. Ketika teman sendiri ternyata melakukan apa yang tidak engkau sukai. Apa yang engkau lakukan dalam menyikapi hal ini, teman?

Tentang kebiasaan dan kebisaanmu yang tentu saja tidak sama dengan yang lainnya. Yah, banyak yang menilai bahwa engkau adalah seorang yang asing di mata mereka. Banyak pula orang yang menganggapmu sebagai pemilih, penuh ketelitian. Apalagi dalam berteman. Engkau sangat selektif. Meskipun banyak jenis karakter yang menyapa ataupun tersapa olehmu, namun engkau tidak mudah melebur di dalamnya. Engkau berbaur, namun tak hancur. Engkau bergaul namun menyuburkan. Sehingga, banyak yang terpesona oleh pribadimu. Banyak pula yang berlomba-lomba untuk menarik perhatianmu. Salah satunya adalah agar mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi bagian dari kehidupanmu. Ai! Sungguh beruntungnya engkau yang juga aku kenali. Xixixiii… Aku senang bukan main, saat menyadari akan siapa aku yang sesungguhnya. Hanya perempuan biasa yang sedang berusaha untuk melanjutkan langkah perjuangan. Yang dalam perjalanan tersebut, aku berjumpa denganmu. Saat itu, engkau sedang asyik dengan aktivitasmu. Aktivitas yang akhirnya aku tahu, sungguh menyenangkan apabila akupun menjalaninya.

Engkau, banyak yang aku pelajari darimu. Banyak pula yang memberikanku bahan pelajaran baru selama bersamamu. Belajar tentang arti senyuman, ku ketahui darimu. Belajar tentang memaknai perbedaan, pun aku ketahui pada mulanya, bersamamu. Kita tidak sama, memang.

Engkau yang sebelum ini pernah terpampang sangat jelas dalam impianku, pernah ada di depan mata. Bersama wujudmu yang sedang memberikan perhatian padaku, membuatku terpana seketika. Pesonamu membangkitkan ingatanku akan jejak-jejak impian yang pernah kulukiskan pada kanvas masa lalu. Kini, kanvas tersebut memang belum sempurna. Karena, masih ku upaya untuk terus menghiasinya dengan warna-warni berikutnya. Bersamamu, ku melukis kisah perjalanan. Sungguh beruntungnya aku dapat bersamamu. Engkau warnai hariku, dengan keuletanmu. Agarku pun belajar untuk menjadi seorang yang rajin, tak hanya dalam ucapan. Namun, perlu terbukti dalam perbuatan. Rajin belajar, bersama kita saling mencerdaskan. Walaupun terkadang, ada salah seorang dari kita yang tertunduk mendalam. Atas ujian yang sedang kita jalani. Dan kita masih berusaha untuk menguraikan jawaban satu persatu.

Ujian, sungguh mengesankan. Namun, setelah ia berlalu, ada nilai yang kita dapatkan. Bagaimana nilai ujianmu dalam semester ini, teman? Sudahkah ada pengumuman kelulusan? Yakinku, engkau adalah sang juara.

Teman, jadwal ujian yang kita jalani, memang tidak sama. Karena belajarnya kita, bukan lagi di sebuah lembaga pendidikan ataupun sekolahan. Ujian demi ujian yang terjadwal, sedang kita jalani dalam kehidupan. Jadwal yang bukan kita penyusunnya. Jadwal yang tidak kita ketahui kapan saja. Hanya, perlukan keterbukaan pemikiran untuk mengetahui, jadwal ujian dalam kehidupan.

Pernah pada suatu hari, ku melihat engkau kembali. Ya, seperti dejavu dan ilusi. Karena sebetulnya, tiada ragamu di hadapan. Engkau yang sedang tertunduk menunduk. Menempatkan kepalamu di atas pergelangan tanganmu yang sedang bersatu. Engkau duduk seraya terisak. Terkadang, menyentuhkan keningmu pada tangan yang mengatup. Engkau seperti kehilangan kekuatan. Engkau sedang kehilangan masa depan, tampaknya. Karena engkau tidak mau bergerak. Saat ku pegang pundakmu untuk menyapamu. Namun engkau tidak berkutik. Engkau sedang bersedih. Betul-betul sediiih. Aku yang sedang menyaksikanmu, dapat membacanya dari getaran tubuh yang akhirnya terguncang.

Kondisi yang memprihatinkan,” pikirku.

Pada keadaan tersebut, tidak ada yang dapat ku lakukan untukmu. Selain mengawasimu dan memberikan peluang padamu untuk meluruhkan semua beban. Hingga lepaslah semua terbawa hembusan bayu yang membawanya serta.  Engkau membutuhkan waktu untuk dapat bercakap-cakap denganku lagi. Meskipun ternyata hanya ilusi. Aku seakan pernah mengalaminya terhadapmu.

Cucuran airmatamu yang tumpah kala itu, tidak lagi dapat ku saksikan. Keharuanmu yang membuncahkan jiwa hingga bergetar lebih cepat, sungguh menyiksaku. Padahal, siapa engkau akupun tidak tahu. Jangan-jangan, engkau adalah diriku sendiri.

Hingga akhirnya, aku menyadari. Seiring dengan berjalannya waktu, engkau ku kenali layaknya diriku sendiri. Engkau yang sebelumnya tidak ku kenali. Engkau yang seringkali menemaniku dalam menjalani waktu. Engkau yang rela berpanas-panasan hanya untuk membentangkan payung untuk melindungiku dari terik mentari pada siang hari. Engkau yang bahkan rela kebasahan di bawah hujan. Karena payungmu ada satu, dan itupun engkau pinjamkan padaku. Engkau yang memberikan perhatian padaku, melebihi perhatianmu pada dirimu sendiri. Engkau yang menempatkanku pada posisi terbaik dalam kehidupanmu. Pada tempat yang setelah aku menyadarinya, itu sangat berlebihan. Namun engkau membantah penilaianku. Karena bagimu, itu sudah selayaknya. Dan hanya hal demikian yang bisa engkau persembahkan padaku, sebagai salah satu wujud syukurmu, telah mempunyai kesempatan mengenalku.

Engkau bersama dirimu yang semakin ku kagumi. Engkau ciptakan taman terindah di hatiku. Engkau menjaganya sebesar penjagaanmu terhadapku. Engkau tidak mencari kembang senyuman pada wajahku, namun engkau berupaya untuk menjadikannya ada, ketika engkau belum lagi menemukannya pada diriku. Engkau begitu berjasa padaku. Terima kasihku akan terus mengalir hingga ke ujung usia, terkhusus bagimu.

Engkau bisa jadi saat ini sedang melangkah lagi. Atau engkau sedang berehat dalam istirahat panjangmu. Engkau yang mempunyai waktu sama sepertiku. Engkau yang aku kenali sebagai diriku yang lain. Engkau memang tidak mirip denganku. Jangankan untuk menyamakan wajah, wajah saja engkau tak punya. Lalu, bagaimana aku tahu ekspresimu? Bagaimana aku mengenali sumringahnya senyumanmu ketika bahagia? Bagaimana aku dapat menangkap beratnya beban yang sedang engkau bawa, ketika pikir itu memberati wajahmu? Bagaimana, bagaimana aku dapat mengetahui semua itu?

Hanya intuisi yang seringkali ku berdayakan, untuk menjumpaimu yang sedang berada nun jauh di ujung waktu. Bersama imajinasi ku berusaha untuk menemukan wujudmu yang pernah aku saksikan di dalam mimpi-mimpi tidurku. Walaupun mimpi hanyalah bunga penghias malam, namun bagiku bukan demikian. Karena menurutku, mimpi adalah penyambung jalan menuju kenyataan. Bersama mimpi-mimpi tersebut, kita memperoleh pencerahan, kalau ia berisikan kebahagiaan. Pun dapat menjadi bahan peringatan sebagai pelajaran, ketika suasananya begitu mencekam. But, ketahuilah teman, sebagaimanapun mimpi yang mendatangimu, sadarilah ia sebagai iklan dari tayangan kisah dalam kehidupan. Untuk melengkapi waktu yang berjeda. Antara aktivitas yang satu dengan aktivitas yang lainnya. Ya, ketika akting kita terhenti sejenak karena adanya episode merehat raga, bernama sleeping well.

Ketika engkau tidur nanti, ini doa dan harapanku untukmu, “Selamat bermimpi indah yaa.”

Walaupun engkau adalah dirimu. Namun dalam pikiranku saat ini, engkau adalah diriku yang sedang berada di dunia yang lain.

“Dunia lain? Apa maksudmu dengan pernyataan ini?,” begini engkau menanya padaku.

Sejenak ku memandangmu, menatap kedua bola matamu yang berpijar bak bintang kejora.

“Maksudku adalah, ku temukan diriku dalam dirimu. Ku rasakan ada kesamaan antara aku dan engkau. Saat ku menyaksikan senyumanmu yang mengembang dalam bahagiamu, ada diriku yang sedang tersenyum pada waktu yang sama. Ketika ada rona berbeda dari wajahmu yang sedang bermendung kelabu, begitu pula dengan yang aku alami. Adakah engkau menemukan hal yang demikian pula? Terlebih saat kita saling melayangkan pandang. Meski tak tembus pada kedua bola mata yang sedang memancarkan sinar terbaiknya. Atau, hanya perasaanku sajakah yang menyatakan seperti itu. Aku juga tidak tahu.  Hanya saja, aku ingin selalu sangat mau mengetahuinya.

Lalu menanyaku, “Ada apa dengan ingatan yang terhadirkan?”

Ingatan yang sangat mengusikku. Ingatan yang membuatku segera melintas menyeberangi jembatan kenyataan. Lalu, mengalihkan keberadaan diriku ke dunia yang berikutnya. Dunia maya. Ai! Ku ketikkan beberapa huruf pada mesin pencari. Untuk ku temukan solusinya. Agar ku dapat menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang hadir dalam ingatan.

Tentang, “Mengapa? Apa? Bagaimana? Siapa? Kapan?”

Begitulah awal demi awal pertanyaan yang ku coba sebarkan. Setelah itu, mengalirlah rangkaian kata yang berikutnya, mewujud pertanyaan. Sering ku bertanya pada dinding mesin pencari. Seringkali pula ia memberikan jawaban, jawaban yang kembali membuatku bertanya. Apakah makna dari semua ini? Bukan karena aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Bukan pula karena kepuasan yang belum kutemukan setelah bertemu dengan jawaban. Hanya saja, pertanyaan berikutnya seakan mencurah dari langit pikir. Aku perlu menemukan jawaban berikutnya.

Adalah satu tekad yang memancang kuat. Tekad yang ku sertakan pada sekat-sekat kata. Agar, aku kembali mengingat tujuan awal kehadiranku di sini. Agar segala yang ku lakukan mengembalikanku padanya. Semoga lebih seringku bertaubat, atas kekhilafan dan kesalahan. Memohon maaf segera, lalu bersenyuman merangkai syukur. Saat ada beberapa hal yang membuatku perlu menciptakannya. Karena, kedua hal tersebut adalah bagian dari hari-hari yang terus berganti. Sangat besar yakinku akan adanya dua hal ini.

Pada suatu ketika, ku sempatkan melangkah pada jalan lain yang tidak sama dengan sebelumnya. Pada dunia yang baru, ku berada. Ada senyuman yang ku saksikan, ada pula ekspresi berikutnya yang mensenyumkanku. Nah! Ketika kesempatan berikutnya ku jalani pula, ada beraneka jenis keadaan yang kembali membuatku bertanya, “Benarkah?”

 Aku yang sedang melanjutkan langkah, tentu saja inginkan sampai pada tujuan. Engkau yang juga sedang berjuang sepenuh upaya, sedang melakukan hal yang sama. Tidak berapa lama kemudian, kita akan mengerti. Bahwa memang tidak selamanya apa yang ada di dalam harapan, dapat menjadi kenyataan. Namun, yakinkan hati, bahwa kenyataan yang sedang kita temukan merupakan hadiah terindah yang sedang kita terima. Seperti hadirmu dalam kehidupanku. Engkau adalah hadiah termahal yang senantiasa ingin selalu ku jaga kondisinya. Agar, sesiapa saja yang menjumpaimu, dapat memberi kesaksian. Bahwa engkau betul-betul berharga. Tidak hanya bagiku, namun bagi sesiapa saja yang mengenalmu. Baik perkenalan sekejap, sebagaimanaku  mengenalmu. Ataukah perkenalan yang berujung kebersamaan. Karena engkau dan aku adalah kepingan hati yang benar-benar serasi. Tidak ada yang sia-sia. Hanya saja kita yang mungkin belum mengenali medan dalam melangkah.  Kita yang terkadang segera menghentikannya. Karena ada orang yang bilang, bahwa di depan sana ada jebakan. Lalu, kita sudah takut duluan. Kemudian surut pelan-pelan. Kalau hanya mendengarkan apa kata orang?  Nah, kapan kita majunya?

Namun, tidak begitu denganmu. Engkau malah menumbuhkan kekuatan baru bagiku. Engkau bilang, bahwa terkadang kita perlu tidak mendengarkan apa yang orang bilang.

“Kalau kita yakin, maka bergeraklah,” pesanmu yang selalu ku teringat. Pesan yang seringkali hadir dalam ingatan. Ingatan yang mengingatkanku padamu. Engkau. Aku kembali merindukan pesan-pesan berikutnya, darimu. Namun kini, belum ku peroleh kabar terbaru tentang keberadaanmu.

“Apakah engkau masih ada, atau telah tiada?”, suara hatiku menitip tanya pada lembaran maya.

🙂 🙂 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”