Saat Engkau Tiada Wahai Mentari, Aku Rindu


Langit sore tadi, mendung, kawan. Ku perhatikan saja awan yang berarak dari timur ke barat bergandengan. Mereka terlihat saling berangkulan satu sama lain. Suasana yang membuatku segera bergumam, pelan… “Ternyata begitu ya, cara mereka mengabadikan kebersamaan. Sebelum akhirnya mereka pun berjarak dan berjauhan.”

Selama memperhatikan aktivitas awan di atas sana, tiba-tiba aku merasakan tetesan yang dingin di pipi ini. Dingin, pun hangat. Oo.. Ternyata aku berhasil menghayati keharuan awan dan teman-temannya. Mereka pasti berselubung sendu, pikirku kemudian.

Sebagaimana halnya yang aku alami, tentu awan lebih menghayati perannya tadi. Peran sebagai jalan hadirnya tetesan berikutnya di muka bumi. Yah… Ia bernama hujan.

Beberapa puluh menit kemudian, bening nan mempesona itupun berduyun-duyun menghujaniku. Aku tertimpa tetesannya yang semakin ramai. Hingga basahlah seluruh raga ini. Raga yang sedari tadi tertakjub saat memperhatikan langit sore, bersama mata nan tak henti berkedipan. Menahan haru kah? Atau karena ia sudah dihinggapi sejenis makhluk kecil-kecil nan beterbangan di udara?. Ai! Kejap-kejap ia tiada henti.

Setelah ku bertanya dengan hati-hati, ia pun menjawab begini, “Karena saat ini, aku belum dapat memandang cerahnya sinar mentari. Padahal engkau tahu bukan? Aku sangat suka menemaninya saat berevolusi.”

Serta merta, aku mengangguk saja tanda setuju. Karena aku tahu pasti, bagaimana perasaannya kalau aku sempat menggodainya atau mengisengi. Ia adalah sahabat yang sangat ku kenal dengan baik. Seperti aku mengenal diriku sendiri.

Berlama-lama memandangi alam yang mulai menyepi, aku tak berani. Kalau saja tidak ada dirinya di sisi. Namun, karena kami sudah bersama semenjak tadi, ku lanjutkan saja kebersamaan ini. Karena ada kesan tersendiri yang aku alami ketika kami bersama, begini. Semiriplah, dengan apa yang awan dan teman-temannya alami, tadi sore. Sebelum mereka benar-benar terberai menjadi tetesan air nan membasahi ragaku.

Hup!
Lama kelamaan aku pun tersadar dari keterpesonaan terhadap alam. Lalu beranjak dari tempat berdiriku. Segera, aku bangkit dan kemudian berjalan. Bersama sahabat yang aku kenali dengan baik, kami beriringan. Hingga akhirnya, kami kembali menatap ke arah langit. Langit yang terlihat tak cerah sama sekali. Karena ada kabut tipis kelabu, di wajahnya.

Sempat kami berhenti sejenak. Karena ada pemandangan yang berikutnya di tepi langit dan kami berteriak penuh keceriaan. Aha! 😀 Ada senyuman melingkar dari sana.

“Lihat. Lihatlah teman, sebuah lukisan senja nan rupawan membentang membelah awan,” sapa mataku berkilauan.

“Apakah itu pertanda bahwa mentari akan bersinar lagi?,” tanya ku seraya mengembangkan senyuman, membalas tatapnya.

Tidak ada jawaban yang ku terima dari sekeliling. Tiada. Masih sepi dan sunyi saja. Walaupun sudah ku ulang tanya untuk kedua kalinya. Namun masih nihil.

Lalu aku pun melanjutkan pikir. Mengajaknya berpetualang ke titik-titik air yang mulai menggenang. Membawanya bertengger di atas helai daun yang bergerak-gerak terkena terpaan angin sore. Lalu, menitipkannya pada salah satu lembar daun tersebut. Ku minta ia duduk di atas daun nan masih muda, beberapa jenak waktu. Agar ia dapat merasakan kesegaran untuk beberapa lama. Ai! Hingga akhir paragraf ini, aku mendengarkan adzan Isya bersahutan dari kejauhan. Lama-lama semakin mendekat. Ramai, bergemuruh. Seperti menggemuruhnya rinduku nan semakin meninggi terhadap mentari pagi. Esok, ku harap ia bersinar dengan leluasa. Agar kami dapat bersenyuman sebagaimana biasa. Namun senyuman kami esok hari, perlu lebih indah lagi, yakinku.

🙂 🙂 🙂

  • MY@>–SURYA


  • “Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”