Aku Adalah Diriku Saat Bersamamu


Ku temukan diriku saat bersamamu, teman. Lalu, bagaimana denganmu?

Ketika aku mulai menyadari bahwa selera kita sama, maka aku semakin percaya bahwa kita sehati. Kita mempunyai satu cita yang sedang mengawang di angkasa. Kita merupakan dua saudara yang saling mendamba. Ai! Bahagianya terasa, saat engkau kembali di sisiku.

***

Ku biarkan saja menu makan malam yang semenjak tadi sudah aku siapkan. Ku abaikan ia untuk beberapa lama. Tidak berminat aku padanya. So, hanya ku tatap saja ia dan dirinya satu persatu. Setelah puas menatap dengan fokus, ku pindahkan posisinya ke tempat yang berbeda. Ku simpan ia pada lokasi yang lebih tinggi. Agar ia aman dan terjaga.

Satu persatu menu makan malam kali ini, ku angkat perlahan. Bersama genggaman tangan yang tidak sepenuhnya berdaya. Ya, aku merasakan bahwa aku memang perlu menyantapnya segera. Agar kebugaran raga kembali menyertaiku. Namun yang ada, aku malah menjaganya sedemikian rupa.

Agar ia tidak terlihat lagi olehku? Bisa saja.

Setelah aku merasa yakin bahwa menu tersebut aman, maka akupun melanjutkan aktivitas sore menjelang malam. Mengapa saja? Ada-ada saja yang aku lakukan. Mulai dari membaca, berehat raga, beribadah, berbenah segala hal, dan yang lebih penting adalah tersenyum lebih indah. Walaupun mentari seharian ini tidak menunjukkan rupanya sama sekali, namun aku merasakan kehadirannya. So, ku ingat saja saat-saat kami bersama menjalani siang dalam benderang. Makanya, ada senyuman yang menebar pada wajahku hingga sore tadi.

Beberapa saat setelah sore mulai tenggelam, berganti senja nan menawan. Tertahan arah tatapku pada sekumpulan awan yang sedang berdekatan dengan teman-temannya. Corak awan sore tadi biru kemerahan, teman…

Ingin ku raba awan gemawan yang menatapku dengan pandangan teduhnya. Ingin ku mengatupkan matanya, agar ia tidak memperhatikanku lagi. Karena aku merasa malu diperhatikannya seperti demikian. Akhirnya jadi salah tingkah. Nah! Ujung-ujungnya adalah, ya begini. Aku pun menjadi gundah.

Awan gemawan yang berarak, seakan menyampaikan barisan pesan padaku, agar aku tidak terbawa suasana. Ya, agar aku mampu bertahan walau dalam kondisi kedinginan seperti yang sedang berlangsung dan mereka menyaksikan.

Ingin ku katupkan bibir-bibirnya yang menyampaikan pesan, namun aku masih ingin mendengarkan dan menyimak apa yang mereka sampaikan. Ingin ku menutup mataku saja, agar tidak terlihat lagi pesona awan dalam kesenduan. Sendu yang mengalir padaku juga. Namun, aku ingin menyaksikan perubahan yang akan berlangsung beberapa saat kemudian. Ingin pula ku coba menyibak tirainya yang telah mengembang semenjak tadi, namun aku yakin bahwa hadirnya menawarkan kesejukan. So, aku terus memperhatikan detik-detik terakhir kebersamaan kami. Aku benar-benar menghayati kondisi. Kondisi yang ku hayati, ternyata telah menggerogoti seluruh diri ini. Hingga akhirnya hatiku pun seperti sedang berada di lokasi yang sangat asing. Ia sedang menyelami lautan sunyi bersama ikan-ikan yang menemani. Ada kesejukan berlebih yang ia rasa ketika itu. Ya, semirip dengan nuansa alam menjelang hujan deras membasahi bumi, gitu lho fren.

Agar kesejukan tak hanya hati, maka aku pun mengambil wudu. Agar ragaku pun cerah berseri. Di tambah lagi dengan banyak manfaat yang dapat kita rasai dengan membersamainya, maka aku tidak merasai nuansa alam yang mulai menggigiti tulang. Hingga ke persendian yang paling dalam, ia mendominasi. Sungguh aduhai cuaca alam senja tadi. ‘Tiris’ kalau bahasa Sunda na mah…

Beberapa saat setelah berwudu, azan Maghrib pun berkumandang. Kumandang yang bersahutan dari ujung ke ujung. Ramaaii, sekali. Aku pun tenggelam di dalam lautan panggilan Ilahi. Ku tundukkan wajah ini, ku jabat erat hati. Agar ia segera kembali, setelah beberapa waktu yang lalu menjauh dariku. Sungguh, sungguh aku terus ingin menjadikannya sebagai salah seorang sahabat hingga akhir nanti. Aamiin.

Ku mendirikan shalat dengan sendiri. Karena memang sedang demikian kondisinya. Lalu, berdoa memohon keselamatan dalam setiap langkah kaki, mohon kekuatan dan kemudahan dalam menggerakkan jemari, serta mempunyai kesanggupan dalam membantu memberi jawaban atas setiap tanya hati, yang terus mengikuti.

***

Jarum jam terus berputar. Waktu ke waktu berganti tanpa meminta izin terlebih dahulu. Hingga akhirnya aku terduduk. Terdiam tanpa ekspresi sama sekali. Aku lunglai, lemas dan tak berenergi. Lalu, rebah tidak sadarkan diri. Entah berapa lama, aku tidak mengetahui.

Hingga akhirnya, aku dapat mendengarkan sebuah suara yang sedang semanggil-manggil namaku. Ku simak dengan teliti. Ku coba menerka arah datangnya suara tadi. Ku perjelas lagi. Karena aku tidak ingin kalau apa yang aku alami hanya ilusi ataukah imajinasi ku sendiri.

Berulang lagi suara yang sama untuk entah ke berapa kalinya. Lalu, akupun benar-benar sadar. Bahwa aku bukan bermimpi apalagi mengimajinasikan.

Dan tahulah engkau teman, siapakah yang memanggil-manggilku tadi. Beliau adalah Yet Yet, salah seorang tetanggaku di sini. Beliau baru pulang? Lalu menyapaku. Menanyakan, “Apakah aku sudah makan malam?.”

Aku pun kembali teringatkan dengan menu yang telah ku titipkan pada tempat terbaiknya. Lalu aku menjawab, “Beluumm.”

Singkat cerita, dan kamipun sudah bersantap. Lalu tahukah engkau teman, bahwa menu yang sebelumnya telah kami siapkan adalah mirip dan senada. Lalu aku berkata pada Yet Yet, “Kita memang sehatiiii.” Sedangkan Yet Yet menanggapi dengan senyuman khas yang alami. Kami terharu.

Aku berpikir, “Aku tidak menunggumu, teman. Namun kalau kita memang sehati dan satu cita, maka ada hal-hal tidak terduga yang akhirnya membuat kita menyadari, bahwa kita mempunyai kemiripan. Nah! Ketika kita bersama, kemiripan tersebut yang membuat kita saling mengalirkan energi terbaik.”

Di ujung sesi bersantap malam kami, Yet Yet berkomentar, “Yeeee… Mbak Yan hebatt, menunya habiisss.”

Sedangkan aku menanggapi dengan penuh antusias, “It’s because we are dinner together. Coba kalo sendiri, Yet Yet juga udah tahu, apa yang terjadi, bukannn??.”

(Kami pun tertawa bersama).

Mungkin beliau membayangkan hal yang berbeda. Sedangkan aku berpikir lain.

Bersama teman yang sehati, satu cita dan tujuan, maka kita akan mempunyai kegigihan untuk menyelesaikan perjuangan. Meskipun perjuangan itu berupa usaha untuk melahap menu makan malam. Karena ada alasan yang kita munculkan, “Because of we are together and fill a gap each other. With you, I found my best energy when doing my effort. Thank you very much, ya friend, for your kind to be with me in my dinner time.”

🙂 🙂 🙂

Engkau yang awalnya satu. kini tak lagi begitu. Ada yang senantiasa bersamamu dalam melangkah. Buka mata, lalu melihatlah. Optimalkan fungsi telinga, lalu mendengarlah. Raba hati, lalu rasakanlah apa yang sesama rasakan. Indera penciuman, ada pada hidungmu. Pedulilah pada lingkungan. Ada kulit yang membentang luas pada dirimu, itulah alam.
Renungkanlah…”

~ Marya Sy ~


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”