Ucapkanlah Alhamdulillah…


"..Alhamdulillah....


Lokasi: di dasar lembah Ngarai Sianok

(..tak henti BERSYUKUR pada-NYA,
ketika NIKMAT Pagi nan Cerah selalu mewarnai Ranah nan Indah..
dan tak henti untuk BERDOA pada-NYA ,
agar di Ranah nan Indah,
Air Mata dan Darah tak lagi Tumpah..
Aamiin..!)

Erison J Kambari

Sepenuh hati, ucapkanlah Alhamdulillah…

Dengan kesungguhan, bisikkanlah InsyaAllah…

Begitu engkau tertakjub, lirihkanlah Subhaanallah…

Laahaula walaa quwwata Illaabillahil’aliyyul’adziim. Kembalikan semua kepada Allah, atas apapun yang sedang engkau laksanai. Bukankah kita tidak pernah mengetahui bagaimana indah karunia-Nya, yang membentang di alam nan megah, kalau kita belum lagi mau melayangkan pandangan ke sekeliling.

Hamparan permadani nan kehijauan itu adalah, sawah…

Negeri kita yang indah, melimpah berkah….

Sungguh megah, mewah dan cerah…

Hari ini adalah hari pertama kehidupan kita. Setelah membaca bait-bait kalimah cinta yang mensegarkan ingatan, sejenak ku merenung. Renungan sederhana bersama bait-bait kalimat yang menyeruak dunia. Tetesan harapan baru, asa dan keinginan untuk turut menegakkan Al Islam, kembali membangkitkan haru. Bait-bait rindu, menelusuri setiap sudut keberadaan diri. Ada nuansa yang berbeda, dan bukan baru yang ia rasa. Menyadari keberadaannya sebagai khalifah di muka bumi, semenjak awal kelahirannya.

Negeri elok penuh kenangan. Barisan persawahan yang bertingkat, menyejukkan arah pandang. Minang… terbayang dalam ingatan, tersedu jiwa mengenang. Susunan pematang yang berjejer di bawah pohon rindang, merupakan pemandangan yang sudah tidak asing lagi dalam tatap mata ini. Sementara sang bayu menepikan poni yang menguntai pada kening ini, ada kedamaian yang terasa. Percikan air yang tercipta saat menginjak celah-celah tanah basah ketika musim panen tiba, aku mengalaminya. Kini, negeri itu jauh di mata.

Bersama ingatan yang berlarian mengunjunginya. Berkejaran, mereka saling mendahului untuk segera sampai dan menjumpanya. Ranah Bundo nan jauah di mato. Hohooohoooo…

Saatnya menulis bebaaaaaaassssssss……!

😀

Maha Karya Allah Yang Memiliki kerajaan seluas langit dan bumi. Membentang sejauh mata memandang. Allah Menguasai alam dan seluruh isinya. Allah Menggenggam semuanya, Allah Mengatur hingga ke pelosoknya. Sampai ke relung jiwa kita terdalam, senantiasa dalam Pengawasan-Nya. Adakah kita menyadarinya, wahai teman?

Alhamdulillah… Sudah hampir enam tahun Mentari di sini. Bandung, kota kembang. Kota yang sejuk, adem, ayem dan tenteram. Tepat tiga bulan lagi, angka enam tahun itu sudah lengkap. Tepatnya, 16 Juli. Yah, angka tersebut merupakan tanggal yang selalu lekat dalam ingatan Mentari. Awal hijrah ke kota Bandung. Enam tahun hampir berlalu.

“Bandung! I am coming……,” Inilah sebaris kalimat yang melintas dalam pikirannya waktu itu. Hampir enam tahun yang lalu. Waktu menjelang Magrib. Bus Primajasa yang telah benar-benar berjasa, mengantarkannya sampai ke sebuah terminal yang tak sempat mentari ingat. Opz!  Bukan bemaksud melupakan, tapi memang belum membaca judulnya. Sesampai di terminal tujuan, gerimis menyambut kehadirannya. Bandung menangis, dalam linangan airmata haru.

“Selamat Datang di kota kami, Bandung,” sapanya pada Mentari, mendung, kala itu.

“Kami menyambut kehadiranmu, semoga betah dan nyaman dalam pangkuan kami,” begini Bandung berkata ketika itu, dalam pikir Mentari.

Dinginnya kota Bandung, semakin menyelimuti dirinya, melilit seluruh tubuhnya yang tirus. Sampai ngilu hingga ke tulang. Sumsumnya membeku, tak berkutik.

“Bbrrrrr……. nggaaaaa tahaaannnnn….. Bandung, teganya dirimu, memelukku sekuat tenagamu. Lepaskan aku, tolong,… dari dinginnya tubuhmu. Hikss,” beginilah salam perkenalan yang sungguhan, terhadapnya.

Selain itu, ada hal yang paling berkesan, saat lutut bergetar hebat, keesokan harinya. Tak sanggup berdiri, rasanya. Gempa setempat, inilah yang ia alami. Lalu, Mentaripun pasrah, terduduk dalam dekapan cuaca pagi itu.

“Engkau begitu menyiksaku. Luruh, luluh dan hilang keseimbangan tubuhku. Engkauuuuu….. begitu teganya dirimu padaku. Tidakkah engkau tahu, aku baru mengenalmu?,” tanyanya pada keadaan.

Yah, demikian sekelumit kisah, tanda perkenalan dan salam sapaan dari Bandung bagi Mentari. Mentari yang hangat, penuh sinar, tiba-tiba tak berdaya dalam dekapan kota Bandung pada pagi hari.

Tersiksa!  Setidaknya, inilah kata yang paling tepat untuk menggambarkan tentang keadaan yang Mentari alami, saat itu. Akupun, tidak sanggup menyaksikannya.

“Mentari, oh… mentari… , yang sabar yaa,” ungkapku di sisinya yang sedang terduduk kedinginan. Ku sapa ia, layaknya sahabat yang sangat akrab. Kami duduk berdekatan. Aku dan dia, kita benar-benar bersahabat.

“Hai, Mentari… Xixixixiiiii…“, sapaku pagi ini.

Mentaripun tersenyum.

🙂 🙂 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”