112.000 Rupiah


Senyuman tak pernah usang

Senyuman tak pernah usang

Kita tidak pernah tahu, tentang apa yang akan terjadi hari ini, hari esok dan selanjutnya. Namun, ketika suatu hal terjadi, kita perlu dalam keadaan siap saat menjalaninya. Walaupun hal yang terjadi tersebut bukanlah apa yang kita inginkan. Namun, kita perlu menjalaninya dengan senang hati. Karena, semua yang terjadi adalah atas izin dari Allah. Lalu, bagaimana tanggapan dan sikap kita atas ketentuan-Nya. Inilah yang perlu kita perhatikan, benar-benar.

Ketika kepentingan kita adalah kepentingan banyak orang. Saat kebutuhan kita adalah kebutuhan saudara kita yang lain. Alangkah indahnya terasa, saat kita mengerti dan menyadari. Bahwa kebutuhan kita belumlah sebanyak yang saudara/i kita perlukan.

Tentang rezeki, jodoh, dan maut serta takdir baik dan sebaliknya. Semua dapat menjadi jalan ingatkan kita lebih sering kepada-Nya. Allah Yang Maha Menentukan segalanya. Ketika ternyata, salah satu dari rahasia-Nya tersebut, tersingkap di hadapan mata. Kita pun terpana, penuh tanda tanya. Ketika, kita sedang mengalaminya dalam kenyataan.

Subhanallah, betapa indahnya berbaik sangka, lebih awal.

Berharap banyak kepada Allah saja, adalah salah satu jalan yang dapat kita tempuh dalam kehidupan ini. Agar kedamaian senantiasa menaungi ruang hati, menyejukkan pikiran. Kedamaian dan kesejukan yang mengalirkan kebahagiaan bagi kita semua. Kebahagiaan yang kita rasakan karena kita membahagiakan orang tua. Orang tua yang berbahagia ketika anak-anak, buah hati beliau berbahagia. Namun ada bahagia yang lebih tinggi lagi dan orang tua kita alami. Ya, saat beliau tahu bahwa kita menyadari, ridha-Nya adalah tujuan kita yang sesungguhnya. Bukan lagi karena untuk membahagiakan orangtua, kita berbahagia. Namun, cukup untuk menggapai ridha-Nya semata. Kita akhirnya berbahagia dalam berbagai keadaan. Bahagia yang bertalian, beranting dan mengalir dari waktu ke waktu. Hingga sampai pula pada beliau di sana, nun jauh di mata.

Saat cinta kita bersambut, tak bertepuk sebelah tangan. Ketika apa yang kita damba, bersamaan dengan dambaan beliau yang kita cinta. Maka hilangkan segala gundah, resah dan gelisah. Ada kehilangan yang kembali. Ada perasaan baru yang menaburi diri. Kita kini tak lagi sanksi. Atas tanya yang seringkali datang tiada henti. Sehingga semakin bertambah yakin dan percaya diri, atas janji-Nya semenjak semula.

Tentang rezeki yang telah menjadi kebutuhan kita. Rezeki yang tak hanya berupa materi. Namun, senyuman yang mengembang pada wajah beliau-beliau yang kita temui setiap hari, adalah rezeki yang tak ternilai. Karena harganya yang terlalu tinggi, tak mungkin kita bandingkan dengan rupiah. Saya memakai mata uang rupiah, karena sekarang saya sedang berada di Indonesia tercinta. Negeri yang mata uangnya berinisial Rp.

Rp, adalah rupiah. Rupiah yang dapat kita pergunakan untuk menukar barang yang kita butuhkan, apabila kita berbelanja. Rupiahpun dapat kita pakai sebagai alat untuk mengganti jasa yang telah kita terima, dari beliau-beliau yang mobilnya kita sewa. Membayar ongkos untuk bepergian ke berbagai lokasi, ini hampir setiap hari saya lakukan. Ai! Sepertinya, tiada hari tanpa money. Hihiii…  Lalu, bagaimana denganmu teman? Engkau yang sedang berinteraksi dengan sesiapa saja di bumi, adakah semua memakai rupiah. Ada yang gratis, kah? Sebagaimana gratisnya senyuman yang penuh dengan ketulusan.

Senyum, tersenyum. Saya sangat suka dengan wajah yang tersenyum. Berhubung senyuman dapat kita terima dengan gratis, tanpa mengeluarkan money. Bukan berarti, saya suka dengan yang gratis-gratis. Namun, alangkah bahagianya di dalam jiwa, bila ada yang menawarkan penggratisan pada diri ini. Tentu saya akan tersenyum bahagia, seraya menatap wajah dan matanya. Lalu, menatapku lagi ke arah dua peneropong arah yang sedang berkedipan itu. Saya terkagum akan kebaikannya, beliau yang memberikan gratisan. Seringkali ini terjadi. Tak ayal lagi, kagumku bertambah dan bertumbuh, ketika itu juga.

Lalu, bagaimana kekaguman kita pada Allah subhanahu wa ta’ala Yang Menggratiskan banyak hal, untuk kita pakai dan manfaatkan? Terutama nafas, yang hingga saat ini masih ada.

Alhamdulillah… Bersyukurlah, sayang…

Biaya seratus dua belas ribu rupiah, perlu saya bayarkan segera. Ketika pada suatu kesempatan, saya sedang melakukan transaksi. Transaksi yang mengharuskan saya untuk mengeluarkan money, dalam bentuk rupiah.

“Totalnya seratus dua belas ribu rupiah, Neng,” Bapak yang sedang berada di belakang meja kasir, memberikan informasi.

Saya yang sedang berdiri, segera mengangkat wajah. Saya yang sedari tadi asyik menatap jam di dinding, menghitung detaknya yang tiada henti. Karena hanya setengah jam lagi, kesempatan yang tersisa.

Waktu, ini berhubungan dengan waktu. Berpikirku, bersapaan dengan angka-angka yang melingkar pada jam dinding. Kami asyik menyusun tanya, menukar jawaban, dan saling mengingatkan. Bahwa, kami dapat beriringan. Ini terjadi, sebelum Bapak penjaga meja kasir, mengeluarkan suara untuk menyampaikan informasi.

“Berapa jumlahnya, Pak?,” saya meyakinkan suara yang baru saja saya dengarkan. Apakah saya tidak salah dengar? Bagaimana kalau benar?

“Seratus dua belas ribu rupiah, Neng,” ulang Bapak kasir, seraya tersenyum.

Senyuman beliau ramah, sungguh meneduhkan. Saya yang semulanya sedang berpikir, segera melanjutkan pikir. Kemudian menanya diri sendiri, “Uangnya cukup, gak yaa?” Lalu, saya segera membuka tas, menarik resluitingnya segera. Setelah ada celah untuk menatap ke dalamnya, segera jemariku mencari sebuah kantong unik dan kecil berikutnya. Kantong yang berisikan rupiah. Sebuah dompet.

Seraya meneruskan ingatan, ada pernyataan baru yang menyusul. Seingatku, uang yang ada di dalam dompet tak lebih dari segitu. Namun, saya masih mencoba mengingat-ingat lagi, berbagai posisi yang memungkinkan menjadi tempat terselipnya lembaran berharga tersebut. Lembaran berbentuk kertas, yang bernilai. Kertas yang dapat menjadi alat tukar, dalam bertransaksi.

Beberapa saat kemudian, saya menatap Bapak kasir dengan fokus. Senyuman beliau  masih menebar. Senyuman yang membuat ingatanku segera mencair. Lalu, saya tersenyum pada beliau. Kemudian memberikan tanggapan dan penegasan.

“Oh… maaf Pak, apakah saya boleh ke depan, sebentar? Karena uangnya kurang,” saya tersenyum, tipis.

Kemudian menatap beliau lagi. Tatapan yang penuh arti. Bukan keterkaguman karena beliau akhirnya menyampaikan padaku sebuah kata ‘gratis’. Bukan. Karena saya masih perlu membayar. Karena transaksi yang sedang kami lakukan, telah terikat janji dan terikrar. Sedangkan mahar telah diserahkan. Apakah akan dibatalkan begitu saja? Lalu, bagaimana dengan niat yang telah terukir di relung hati? Niat ini meyakinkanku, bahwa beliau percaya, saya akan kembali lagi.

Dengan wajah tenang dan senyuman yang masih mengembang, beliau menyahut, “Iya, boleh, Neng. Ini maharnya akan dititipkan di sini saja?”

“Iya, Bapak. Sebentar, kok Pak, hehee… ,” Bapaknya baik banget, pikirku.

Kemudian, saya segera berbalik arah. Dari posisi yang sebelumnya berhadapan dengan beliau, berubah membelakangi. Tak sampai hitungan tiga, saya telah berlalu. Di tengah perjalanan, saya kembali berpikir. Kok bisa jumlahnya segitu, yaa… hahaa. Tak ku sangka.

Tragedi pagi kemarin, yang menyisakan sebuah pesan di dinding hati. Betapa indahnya saling memahami. Alangkah cerahnya hari ke hari, apabila setiap orang mempunyai pribadi sebagaimana beliau, hayalku.

Saya meneruskan perjalanan.

Belum sampai ratusan langkah, masih kurang dari lima puluh, terhentiku. Kemudian, menemui sebuah kursi yang sedang kosong, tak berpenghuni.  Di sana, saya duduk. Untuk menjadi penghuni kursi tersebut, sampai beberapa menit kemudian.  Karena, ada ingatan yang kembali menarik-narik jemari. Ia ingin kembali membuktikan, berapa banyak uang yang ada di dalam tasku pada saat itu.

Perlahan, kembali saya menepikan resluiting yang tadi merapat. Hingga akhirnya, terlihatlah beberapa benda yang tak pernah absen dari dalam tas, sebagai bawaan wajib. Di antaranya, buku binder, pulpen, botol berisi air putih yang tersisa sebagian, alat komunikasi, dan lain sebagainya. Mereka mensenyumiku. Ya, semuanya sedang tersenyum padaku. Untuk membalasi senyumanku yang tak henti menebar sedari tadi. Terutama setelah mengucapkan sebuah kalimat, pada Bapak penjaga meja kasir.

Satu persatu, saya mengeluarkan benda-benda penting tersebut. Kemudian, mengalihkan pandangan pada sebuah kantong kecil, bukan dompet. Ternyata, saya menyempatkan waktu untuk memasukkannya ke dalam tas, tadi pagi, sebelum berangkat. Dia yang beberapa hari sebelumnya tertinggalkan begitu saja. Dia yang menyimpan lembaran bernilai, bernama rupiah. Ada beberapa rupiah di dalamnya. Jumlah yang menggenapi teman-temannya yang lain. Lembaran yang akhirnya menyelamatkan kaki ini, agar ia tak terlalu jauh melangkah. Untuk menemukan lokasi yang ingin ku tuju.

Untuk menemukan mesin a-te-em di lokasi tersebut, memang tidak mudah. Perlukan waktu sekitar sepuluh  menit, untuk sampai pada daerah tujuan. Kemudian, untuk kembalinya pun begitu. Sedangkan waktu yang tersisa, hanya tiga puluh menit saja.

Alhamdulillah… ku hitung mereka satu persatu. Lembaran bernilai, yang berwarna-warni itu. Lembarannya ternyata banyak sekaliiiii… Xixixixiiii. Dan ternyata, lebih dari seratus dua belas ribu rupiah. Cukup. Cukup untuk melanjutkan transaksi dengan Bapak penjaga meja kasir. Yes!

Setelah merapikan perlengkapan dan uang-uang itu, saya berbalik. Dengan langkah yang lebih cepat, segera ku menemui beliau, Bapak yang sedang tersenyum. Beliau masih dalam kondisi free. Belum melayani sesiapa. Aha! Berarti, saya dapat menemui beliau, langsung.

Tersenyumku dari kejauhan. Beliaupun segera bersiap-siap.

“Pak,.. maaf, saya kembali lagi. Ternyata uangnya cukup. Namun, begini keadaannya,” ungkapku dengan penuh kepolosan.

Lalu, menyerahkan beberapa lembar rupiah. Masih membawa nafas yang bertiup tak biasa, nafas yang lebih cepat. Karena tadi, saya lari-lari. Untuk segera sampai lagi di depan beliau, Bapak penjaga meja kasir. Termasuk ingin menatap lagi jam dinding yang sedang bergulir, tak henti.

“Wah! Bagus,” sambut beliau dengan ekspresi yang ramah dan sopan.

Lalu, melanjutkan proses transaksi yang tadi sempat terhenti. Kemudian menerima lembaran rupiah yang saya serahkan, lebih awal. Beliaupun menghitungnya.

“Pas, 112.000 rupiah,” Bapak penjaga meja kasir memandangku.

Kemudian menyimpan uang pada tempat yang telah tersedia. Tak sampai tiga menit, untuk menunggu bukti transaksi dicetak. Dan belum lagi sampai pada menit ke lima, kami telah  deal satu sama lain. Selesai. Untuk selanjutnya, lembar bukti transaksi yang semula berada pada tangan beliau, berpindah pada jemariku.

“Baik, terima kasih, ya Pak,” jawabku sambil menerima selembar kertas berukuran A5.

Warnanya kuning.

Di manakah saya ketika itu??  😀

Kemudian, kamipun berpisah, untuk sementara. Semoga kita dapat berjumpa lagi, wahai Bapak yang baik.

Ku teringat selalu bagaimana ekspresi yang beliau tunjukkan ketika tersenyum. Termasuk ekspresi yang beliau perlihatkan saat saya menyampaikan sebait kalimat dengan wajahku yang tersenyum tipis. Lalu, ketika beliau menyambutku lagi, untuk keduakalinya. Dengan membawa berita baru. Tanggapan yang beliau sampaikan ketika itu, menghadirkan harapan bagiku. Karena di dalamnya terdapat nada positif. Nada yang menandakan bahwa beliau memberikan apresiasi baik. Sedangkan pada wajah beliau, mengembang senyuman selalu. Senyuman yang masih sama, dengan saat pertama kami jumpa. Tidak ada yang berubah. Senyuman sejati yang beliau ekspresikan.

Saat mengalami kondisi tersebut, saya merasakan ada aura yang tidak biasa. Kejadian yang menyangkutkan kesan tersendiri di ruang hati. Kesan yang memesankan. Bahwa, selembar senyuman yang tertangkap, dapat membuka hati. Walaupun pada kondisi tersebut, pikiran lagi berserabut.  Serabut yang akhirnya kembali tertata, menguntai lurus. Karena, adanya keinginan dan kemauan untuk mendata keberadaannya. Untuk kepentingan apa, serabut menunjukkan diri di hadapan kita?

Bertanyalah pada keadaan, menyapalah pada diri sendiri, lebih awal. Adakah yang salah dengannya? Sehingga ia perlu mendata kembali, atas apa yang ia laksanai.

Kita tidak dapat menyalahkan keadaan, atas apa yang terjadi dan kita tidak ingini. Kita pun tidak dapat mencari-cari alasan, mengapa kesalahan tersebut kita temui. Kalaulah akhirnya kita menyadari, bahwa kita tidak pernah luput dari kesalahan.

Lalu, bagaimana mungkin, begitu mudahnya kita temukan kesalahan pada orang lain. Sedangkan kesalahan yang diri sendiri lakukan, belumlah dapat terhindari.

Kesalahan, ia dapat terjadi kapan saja. Tak kenal waktu dan masa. Meskipun kita telah bersiaga semenjak semula, agar tak bertemu dengannya. Walaupun kita telah persiapkan diri dengan semaksimalnya, agar kesalahan tak mejeng di samping kita. Namun ia sempatkan hadir, sekejap mata, sebentar saja. Nah! ketika ia hadir, kita pun memberikan perhatian penuh padanya.

Bukankah kesalahan adalah pertanda bahwa kita pernah berbuat?  Semoga kesalahan yang sama, tak terulang lagi dalam kejadian yang serupa. Sehingga dapat kita menjadikannya sebagai bahan pelajaran. Menjadi pengingat untuk lebih berhati-hati, pada masa yang berikutnya. Persiapkan diri lebih awal, atas berbagai kejadian yang mungkin saja terjadi, dan tidak dapat kita hindari. Seperti pengalaman yang tadi saya alami.

Setiap kita, tidak pernah terlepas dari khilaf, ataukah terlupa. Baik pada masa lalu, ataupun dalam masa yang akan menjelang. Karena kita hanyalah insan, yang menjadi tempatnya salah. Hanya saja, kita tidak dapat terfokus padanya, saat ia menyapa. Adalah baik, kalau kita segera menjadikan kesalahan pada masa lalu sebagai pengingat. Kemudian menghadirkannya dalam ingatan, hanya sesekali. Agar kita kembali tersadarkan, lebih sering. Lalu, tetap jalani saat ini dengan sebaik-baiknya.

Berbuatlah yang terbaik saat ini. Persiapkan diri untuk menempuh hari esok yang akan hadir.

Esok?

Tataplah ia sesekali. Karena, ia belumlah pasti. Cukup melayangkan pandangan padanya, beberapa lama saja. Setelah itu, kembalilah menarik pandang dengan segera. Laksanai apa yang sedang kita kerjakan saat ini, dengan sesungguhnya. Berkonsentrasilah, dalam menyampaikan kontribusi.

Hari ini kita ada, menjadi kesempatan terbaik yang sangat langka. Karena, ia akan segera berlalu. Tersenyumlah, lagi. Karena dengan senyuman yang kita ciptakan, kita tidak tahu. Siapakah yang sedang tersenyum pula, pada waktu yang sama. Namun terkadang, senyuman itu mahal harganya, bagi sebagian orang. Sedekahkanlah senyuman terbaikmu, pada beliau yang demikian. Senyuman yang tinggi nilainya. Senyuman yang tak perlu rupiah untuk menjadikannya ada.

Engkau akan menjadi berbeda, dari beliau yang menyimpan senyuman begitu saja. Padahal, untuk tersenyum begitu mudahnya. Tak maukah kita mendulang pahala, tanpa pernah menduga?  Karena ternyata, dengan senyuman yang sedang kita rangkai, ada sekepinghati di ujung sana, yang berbahagia, rupanya.

Hatimu, kah…?

🙂 😀 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”