Are You Sure?


Ayah yang baik

Menjadilah Ayah yang baik

Teman… mungkin saja saat ini engkau adalah calon Ayah, ya, panggilan Ayah akan segera melekat padamu. Ayah? Yakin? Ai! Ada banyak panggilan buat laki-laki yang istimewa ini. Ada yang memanggil papi, abi, abah, babe, bapak, papa, atau apa lagi yaa..? 😀 Kalau saya memanggil laki-laki hebat dalam keluarga kami, dengan sapaan Ayah. Begini yang saya tahu, semenjak awal. Lalu, bagaimana denganmu, teman? Bagaimana engkau  memberikan panggilan buat beliau yang menjadi jalan hadirnya engkau ke dunia? Ai! Kalau engkau laki-laki, maka engkau pun akan mendapatkan sapaan yang senada. Tentu saja dari anak-anak yang saat ini sedang menatapmu dengan mata belia mereka. Ia ada ke dunia ini, dengan perantara engkau dan ibunya. Buah hati sebagai titipan dari Allah Yang Maha Pencipta.  Dalam nuansa begini, saya sangat merindukan Ayah… Ketika merangkai kalimat-kalimat dalam paragraf ini, saya sedang membayangkan masa kecilku. Ya, saya sedang menatap kedua bola mata Ayah, yang sedang menempelkan satu telapak tangan beliau yang kekar, di keningku. Beliau sedang menepikan poniku. Hehee.. Kini hanya sanggup ku bayangkan saja. Dan Ayahku adalah Ayah sejati. Bukan calon Ayah lagi. Paragraf ini hanya buatmu teman, bagi calon  Ayah…

Teman… mungkin saja saat ini engkau sudah menjadi pemimpin dalam keluargamu. Engkau yang telah mempunyai anak-anak yang lucu. Engkau yang saat ini sedang tersenyum bersama penerusmu. Engkau yang seringkali menghadapi tingkah mereka dengan aneka ekspresi. Engkau yang membujuk ketika anak-anak itu menangis. Engkau yang sangat lembut, ketika berhadapan dengan gadis cilikmu. Engkau yang mengucapkan kalimat, “Nah… Adek kenapa nangis? Bilang dulu, dong sama Ayah, masalahnya apa? Jangan langsung nangis aja…” Kemudian, gadis kecil yang engkau panggil Adek pun mulai meredakan tangisnya. Meskipun buliran permata kehidupan itu masih mengalir di pipinya. Masih sesenggukan. Namun, dengan kelembutan suara yang engkau hadirkan, akhirnya Adek memulai menuangkan apa yang ia sedang rasakan.

“Adek…. Adek… , hikksssss…. huhuhuuuu…,” baru saja Adek selesai mengucapkan sebuah kata dari bibir mungilnya, tiba-tiba tangisnya kembali pecah. Saya yang sedang menyimak kejadian ini, ikut terbawa suasana. Saya ingin juga menanyakan hal yang sama, seperti yang Ayah-nya Adek tanyakan.

“Mengapa Adek menangiiiiisss…… (teteh peluk ya, sayang….),” begini pikirku yang hadir. Namun, saat itu Adek lagi sama Ayah. Sedangkan Ayah masih terus membujuk Adek.

“Adek cerita dong sama Ayah. Masalahnya apa. Udah gitu, baru nangis…,” ungkap Ayah, yang terdengar olehku. Ayah, senantiasa begitu. Penuh keakraban dan peduli akan perasaan si kecil.

“Iya, Dek. Adek kan pinter… Bilang Ayah… Kenapa Adek tiba-tiba nangis,” gumamku, pelan di dalam hati. Ini suara jiwa.  Sedangkan wajahku tersenyum, ketika mengenangkan kejadian ini. Lalu, dengan segera jemari ini mengalirkan apa-apa yang pernah saya saksikan sebelum ini, sekarang.

Percakapan di atas adalah hasil penyimakanku atas salah satu kejadian yang sedang berlangsung di sekitarku. Tepat pada waktu itu, saya sedang berada tidak jauh dari seorang Ayah dan putri beliau. Ketika tiba-tiba, sang putri berlari ke arah Ayahandanya, bersama tangisan. Ai! Wajah itu penuh dengan airmata. Lembaran pipi Adek sudah basah semua. Sedangkan suara tangisannya, sungguh menyentuh hati, pilu, sendu, haru, syahdu.

“Huhuuuuuu…….  Aaaaaaaaaaaayyyyaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh……..,” sebuah kata yang Adek perdengarkan, dengan nada yang berasal dari tangisan, mengalihkan perhatianku. Saat itu saya lagi serius, belajar.

Kemudian, tidak berapa lama kemudian, Adekpun terdiam. Setelah ia menyampaikan rasanya lewat tangisan. Setelah, … entah apa yang Ayah lakukan untuk memberikan ketenangan pada Adek. Saya tidak menyaksikan dengan jelas. Karena kami berbatasan oleh selembar kaca yang menjadi perantara. Kami tidak bertatapan. Kami berjarak. Hehee, dimanakah saya waktu itu? 😀

 Buat Ayah yang penyayang, penuh perhatian dan kelembutan, terima kasih yaa. Meski hanya untuk beberapa waktu kejadian tersebut berlangsung, namun ia sangat bermakna. Karena saat ini, tepatnya pagi ini, saya sedang berusaha untuk mengabadikannya. Ya, karena episode tersebut adalah bagian dari bahan pelajaran dalam perjalanan kehidupanku. Bahan pelajaran yang tidak selamanya kita peroleh dari tatap muka di depan kelas. Bahan pelajaran yang hadir dengan ketulusannya. Bahan pelajaran itu ada di mana saja. Lalu, maukah kita belajar dari beraneka keadaan, teman?

Buat Ayah yang penuh dengan persahabatan. Segala nasihat, petuah, petunjuk, saran, masukan, kritik dan saran yang seringkali Ayah uraikan baik secara langsung maupun tidak langsung, saya berupaya untuk menyajikannya ada. Sekali lagi, dan akan terus terangkai berulangkali satu kata ini, “Terima kasih , Ayah…”.

Buat Ayah, yang seringkali mengingatkan saya untuk berpikir. Baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam rangkaian kata yang terucap lisan, maupun melalui tatapan sekilas. Saya inginkan hasil pikir ini ada. Saya ingin mengingat pesan-pesan Ayah, selamanya. Saya akan terus berusaha untuk berubah. Ya, berubah dari kebiasaan-kebiasaan yang menurut Ayah, bukan semestinya saya begitu. Insya Allah. Saya ingin sangat melihat senyuman dari wajah Ayah. Oleh karena itu, rangkaian catatan saat ini tercipta. Rangkaian catatan yang sedang saya jejakkan, merupakan salah satu langkah untuk berubah. Mohon doanya, Ayah.

Buat Ayah yang baik… Semoga Ayah senantiasa memperoleh kemudahan, kebaikan, kekuatan, kelonggaran, dan kelancaran dalam berbagai aktivitas yang sedang Ayah jalani. Semoga Ayah benar-benar mampu menjadi Ayah yang patut dibanggakan. Karena Ayah juga mempunyai putri -.- Beliau sangat senang mempunyai karakter yang Ayah punya. Putra dan putri Ayah, benar-benar bahagia dapat bersama Ayah. Dan salah satu buktinya, ia kembali meredakan tangisan yang semula sangat meriuh. Buktinya, Ayah mampu menjadi jalan untuk tersenyumnya Adek kembali. Ayah benar-benar baik.

Buat Ayah yang penuh dengan kepedulian, beruntung kiranya saya dapat menjadi bagian dari beberapa waktu dalam kehidupan Ayah. Saya sangat bersyukur menjadi bagian dari hari-hari Ayah. Saya bahagia dapat mengenali Ayah. Walaupun hanya beberapa masa dari kehidupan ini. Walaupun kebersamaan kita tidak untuk selamanya. Meskipun kita akhirnya tidak dapat lagi bertatap mata, kemudian hari. Meskipun kita hanya akan bertemu dalam ingatan, setelah jarak memisahkan kita. Walaupun kelak, ingatan bahwa kita pernah berdekatan menjadi jalan untuk kita saling bersapaan. Ya, meskipun jemari ini tidak dapat lagi mengoptimalkan fungsinya untuk meneruskan pengabdian. Semoga, kita masih selalu saling mengingatkan.

Buat Ayah, yang membuat saya sangat salut. Ayah yang sangat perhatian. Ayah yang selamanya akan demikian. Teruskan perjuangan, Ayah… Adek sangat membutuhkan perhatian. Tidak hanya saat ia menangis ketika kecil dulu. Namun, ketika ia sedang tersenyumpun, ia inginkan Ayah sedang memperhatikannya.

Iya, Ayah… ini adalah pengalaman. Saya sedang mencurahkan perasaan. Saya sedang mengalirkan pikiran. Saya sedang mengajak jemari untuk ikut berpartisipasi. Agar apa yang saya rasakan, saya pikirkan, dan pernah saya alami, dapat tersalurkan ke lembaran ini. Catatan ini, buat Ayah.  Ayah yang mempunyai Adek, buah hati tersayang. Adek adalah seorang perempuan. Saya sebagai perempuan, mengalami hal yang seperti ini.

Saya sangat senang ketika Ayah membujukku ketika menangis, saat kecil dulu. Saya senang, ketika Ayah menepikan poniku yang menjuntai di kening, hingga menyentuh ujung mata ini. Saya sangat senang, ketika Ayahku  yang saat ini nun jauh di mata, mengelap keringat yang muncul dari puncak hidungku. Ai! Bagian atas hidungku, seringkali berair, pada waktu itu. Apalagi kalau terik panas begitu menyengat. Maka, keringetan dech, ini hidung. Namun kini, semua tinggal kenangan.

Buat Ayah yang penyayang. Selamat meneruskan perjuangan, ya Yah… Sempurnanya peran Ayah, menjadikan Adek tersenyum lebih indah. Ya, ketika ia merasakan bahagia tiada tara, atas kesenangan yang ia alami begitu meruah, Ayah perlu ada di sisinya. Tidak hanya ketika Adek menangis saja. Walaupun ternyata raga Ayah sudah tidak dapat membersamainya dalam kondisi yang serupa, semoga Ayah belum terlambat untuk mengingatkan Adek, bahwa “Ayah ada bersamamu, Nak…” Agar, Adek masih dapat tersenyum dalam kebahagiaannya. Meskipun pada saat ia sangat membutuhkan kehadiran Ayah, Ayahnya tiada. Semoga Ayah dapat membaktikan bukti kepenyayangan Ayah yang terus mengalir, ya Yah…

Buat Ayah yang sangat saya hargai.  Ketika pada suatu hari Ayah menemukan Adek menangis lagi di hadapan Ayah, bilang saja, “Adek cantiiik, tersenyumlah sayang…” Maka Adek akan memikirkan bahwa ia memang cantik. Dan aura penuh senyuman akan segera mengalir dari lembaran wajahnya. Adek telah remaja.

Buat Ayah yang kini sedang bersama dengan Adek yang telah beranjak remaja, teruslah memberikan perhatian padanya. Teruslah menekankan disiplin atasnya. Selamat menyaksikan perkembangan yang ia alami. Adek adalah permata jiwa Ayah. Adek adalah jalan tersenyumnya Ayah atas prestasi yang ia peroleh. Adek itu anak pinter, lho Yah..

Buat Ayah, bolehkah, saya mengisahkan tentang kebersamaan saya dengan Adek? Ayah, apakah mengizinkan saya untuk mengurai kembali kisah antara kami yang terjadi sebelum ini? Ayah… please…

“ …. Bagaimana, Ayah,” saya meminta persetujuan Ayah.

***

Buat Ayah yang sangat gemar mengingatkan kami agar berhati-hati. Ya, Ayah yang sangat ingin kami berubah. Ayah ingatkan kami untuk rajin membaca.

“Nah… kamu tidak baca, kan?” begini Ayah menyampaikan persepsi pada suatu hari. Semoga Ayah benar.  Untuk itulah, anggukan beriring ucapan maaf, mengalir dari bibir ini.

Buat Ayah. Tolong maafkan yaa, untuk beraneka rasa yang Ayah alami atas sikap diri ini. Ia yang seringkali membuat Ayah bersuara tinggi. Terima kasih Ayah. Saya akan seringkali mengingat bait-bait kalimat yang Ayah sampaikan. Karena semua adalah demi kebaikan diri ini. Ia yang sangat ingin menjadi lebih baik lagi. Ia yang terus saja berupaya menemukan solusi atas apa yang terjadi, namun tidak begitu yang ia ingin. Ia yang sangat senang ketika ada yang mau mengingatkannya. Ia yang bersyukur, dapat mengenal Ayah. Ia yang seringkali membuat Ayah berubah ekspresi saat ia menjumpai Ayah. Ia adalah pribadi yang terus bergerak. Ia sedang melanjutkan langkah. Ia sedang menempuh jarak yang tidak sedepa, Ayah… Ia yang terus berubah, ia inginkan larut dalam perubahan. Ia berupaya untuk memberikan yang terbaik. Semoga ini adalah salah satu jalan, agar ia kembali mengingat Ayah, ketika nanti raganya sudah berjauhan dengan Ayah. Ayah yang menjadi salah satu sisi jalan untuk ia lalui. Ayah, engkau berarti.

Buat Ayah yang saat ini sedang beraktivitas. Buat Ayah yang sedang melanjutkan perjalanan pula. Buat Ayah yang terus berupaya untuk memberikan yang terbaik. Semoga kebaikan demi kebaikan yang Ayah alirkan, berganti dengan pahala yang berlipat, meningkat, meninggi, hingga akhirnya memenuhi ruang keberadaan Ayah sampai ke akhirat nanti. Aamin. Ayah, titip salam buat Adek…

Teman… mungkin saja engkau sudah mempunyai keluarga atau masih remaja?  Ini catatan buat kaum Adam.  Ai! Kalau engkau sedang mampir ke sini, saat ini, saya memanggilmu dengan sapaan apa yaa? Apakah Om atau Bapak atau Adek? Lha, bagaimana kalau saya sapa Bapak, saja? Oke, yaa.. 😀

“Mengapa mesti Bapaaaakkkk,” engkau mengomentari. Buat saya, memang ini panggilanmu kini. Saya yang sejak beberapa tahun terakhir berada jauh dari keluarga, hanya mengenal satu kata ‘Bapak’ untuk memanggil laki-laki yang saya hargai dan panuti. Entah mengapa… saya juga seringkali bertanya, “Mengapa saya memanggil hampir semua laki-laki dewasa yang saya temui, dengan Bapak, yaa..?”

Tolong maafkan, apabila Anda kurang berkenan. Atau silakan bilang saja, saya semestinya menyapa bagaimana yang seharusnya? Peace man… 😉 Mari kita bersalaman di ruang jiwa.  Semoga kita selalu mau untuk saling mengingatkan demi kebaikan.

Teman… mungkin saja saat ini engkau sedang beranjak remaja. Engkau adalah seorang laki-laki. Dan tidak dapat kita mengalahi akan apa yang sedang berlangsung. Paragraf ini buatmu, specially. Terkhusus Adikku, Oddy. Yes!

Oddy, mungkin saat ini engkau belum mampir ke sini. Mungkin saat tulisan ini baru jadi, engkau belum mengetahui. Bahwa saat ini saya sedang mengirimkanmu bait-bait kalimat.  Catatan yang menjadi salah satu bukti, bahwa engkau ada dalam pikiran ini.

Oddy, remaja yang lagi bertumbuh. Sudah berapa tahun usiamu, saat membaca catatan ini, adik Uni, sayang… Bagaimana engkau menjalani hari yang penuh dengan uji dan coba? Bagaimana engkau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Ayah? Berapa jenis teman dan sahabat yang sedang  bersamamu dalam melanjutkan perjuangan untuk menemukan dirimu? Berapa banyak pesan, nasihat, petuah dan saran yang engkau terima untuk menjadi seperti saat ini?

Oddy, mungkin saja saat membaca rangkaian ini, engkau telah berkeluarga? Ohiyaaaa… 😀 Hhaahaa, selamat yaa. Semoga engkau menemukan tambatan hati yang paling baik ya, Dik. Semoga engkau menjadi lebih baik bersamanya. Semoga ia menjadi jalan bagimu untuk mengingati akan tujuan kehidupan kita di dunia ini. Semoga ia dapat memerankan diri sebagai Ibunda bagimu, setelah engkau tidak lagi bersama dengan Ibunda. Semoga hangatnya kasih sayang yang Ibunda alirkan ke relung hatimu dan mendinginkan ruang pikirmu, dapat pula engkau temui pada pribadi, yang terpilih. Oia, siapakah ia?

Oddy, mungkin saja saat membaca rangkaian ini, engkau masih belum menjadi Ayah. Namun, ingatan pada Ayah, semoga menjadi jalan bagimu untuk memberaikan segenap janji di dalam hati, bahwa engkau bercita untuk menjadi Ayah. Wah! Adikku sayang, engkau sedang meneruskan bakti. Semoga kelak engkau menjadi seorang yang baik hati, yaa. Teruskan citamu, lanjutkan perjuanganmu. Selagi ada kemauan, jalan mensenyumimu.

Oddy, mungkin saja saat ini kita memang tidak bertatap mata. Namun, yakinkan? Uni ada di sini, untuk menemanimu. Yes! Ketika engkau yakin, maka nikmatilah senyuman yang sedang menebar indah di hadapanmu.

🙂 😀 🙂


“Pesan-pesan positif dan konstruktif, sangat berguna demi masa depan kita”